Umur Kualitatif

Hidup kita di dunia ini tidak lama (al-hayat al-dunya = kehidupan yang sangat dekat dan rendah). Setiap saat, umur kita berkurang, dan terus berkurang.

Kita semua sedang menempuh perjalanan menuju sebuah kepastian, yakni kematian. Umur yang kita jalani merupakan kontrak Ilahi sekaligus amanah yang akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah SWT di akhirat.

Sekadar tafakur, marilah kita mencoba mengalkulasi umur kuantitatif kita secara sederhana. Rata-rata kita menghabiskan waktu delapan jam/hari untuk tidur. Delapan jam adalah sepertiga dari 24 jam/hari.

Jika misalnya kita dikaruniai usia hingga 60 tahun, berarti kita tidur selama 20 tahun. Jika usia kita mencapai 75 tahun, berarti kita tidur selama 25 tahun.

Pertanyaannya kemudian dua pertiga usia bangun kita (16 jam) itu dimanfaatkan untuk apa? Berapa lama kita membaca, belajar, bekerja, berkarya, berdedikasi, bermasyarakat, dan beribadah kepada Allah? Dalam hal ini, Umar bin al-Khattab ra. pernah memberi nasehat: “Hitunglah (amalan) dirimu, sebelum engkau dihitung (oleh Allah) dan timbanglah kinerjamu sebalum ditimbang di akhirat kelak.”

Padahal Nabi Saw juga pernah menyitir bahwa rata-rata umur umatnya berkisar 60 sampai 70 tahun, dan sangat sedikit orang dapat melampaui 70 tahun (HR. at-Turmudzi, Ibn Majah, dan Abu Ya’la).

Agar umur kita bernilai atau berkualitas prima, kita perlu terus-menerus melakukan muhasabah (introspeksi diri, audit dan evaluasi diri), sehingga kita semakin menyadari pentingnya nilai dan manajemen waktu.

Allah SWT berfirman: “Demi masa, sungguh manusia itu pasti dalam kerugian; kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling mewasiatkan kebenaran, dan mewasiatkan kesabaran.” (Qs. Al-Ashr: 1-3)

Perjalanan waktu (umur) itu ibarat awan, tidak pernah kembali/mundur, terus maju dan berlalu. Karena itu, menghargai waktu berarti memaknai hidup dan kehidupan. Waktu selalu disiplin, tetapi tidak semua manusia bisa disiplin waktu. Tidak sedikit, manusia yang lengah dan tidak dapat menghargai waktu, terutama saat sehat dan senggang atau tidak ada agenda yang jelas. Nabi Saw pernah mengingatkan: “Sehat dan waktu luang merupakan dua nikmat yang banyak manusia dibuat terpedaya olehnya.” (HR. al-Bukhari).

Karena itu, mensyukuri nikmat waktu sebagai umur kualitatif merupakan kunci utama manajemen waktu itu sendiri. Dan kunci manajemen waktu adalah manajemen diri sendiri.

Artinya: “Jagalah (waktu antara) yang lima sebelum datang yang lima: waktu mudamu sebelum pikunmu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. al-Hakim)

Dalam bermuhasabah, umur kualitatif kita harus senantiasa dimaknai dengan selalu bertaqwa dan tidak melupakan Allah (lupa menyebut nama Allah, lupa melaksanakan perintah-Nya, lupa menjauhi larangan-Nya, melupakan nikmat-Nya, dan sebagainya) dalam segala hal.

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs. Al-Hasyr/28: 19).

Kita berharap umur kualitatif kita menjadi umur dambaan seperti pesan Nabi Saw berikut: “Ada empat perkara, siapa yang diberikan semuanya, berarti dia telah diberikan kebaikan dunia dan akhirat, yaitu: hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, sabar menerima cobaan, dan istri yang rela dinikahi bukan karena mau menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan dan menginginkan hartanya (istri shalehah).” (HR. at-Thabarani). Mudah-mudahan umur kualitatif kita senantiasa lebih baik dan dapat melampaui umur kuantitatif kita.
 
Oleh: Muhbib Abdul Wahab

Komentar

Postingan Populer