Ustadz Bachtiar Nasir: “Apakah Rasulullah Masuk Sistem Saat Mengubah Sistem?”

Umat Islam Indonesia umumnya berperilaku dengan mengikuti pemimpinnya. Parahnya, pemimpin negeri ini telah terjangkiti penyakit wahn, cinta dunia, berorientasi materi dan uang, serta takut mati di jalan Allah.

Artinya, umat Islam kehilangan keteladanan dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam. Sangat berbeda dengan generasi awal yang dibimbing langsung oleh Rasulullah saw. Generasi awal Islam tidak pernah berpikir untuk menumpuk harta.

Ketika Rasul saw memberikan ghanimah kepada seorang sahabat saat berhijrah ke Madinah, sahabat itu menolak sambil mengatakan, “Ya, Rasulullah bukan untuk tujuan ini saya berhijrah, tapi saya merindukan panah musuh-musuh Islam, musuh-musuh Allah menancap di leherku.”

Akhirnya, dalam sebuah perang dengan kabilah Qurasy, ia gugur sebagai syuhada dengan anak panah yang menancap tepat di lehernya. Pada saat pemakamannya, Rasulullah pun memberikan jubah kebesarannya pada sahabat ini.

Adakah, saat ini, pemimpin yang berani menolak ghanimah dan mengatakan, “Saya merindukan timah panas menembus leherku demi tegaknya nilai-nilai Islam?” Itulah analisis Ustadz Bachtiar Nasir kenapa umat Islam kian terpuruk di negeri ini, bahkan di sebagian negeri-negeri Muslim. Akibatnya, perjuangan menegakkan Islam menjadi lemah, apalagi para pemimpin umat saat ini justru teracuni oleh syubhat pemikiran dan syahwat kekuasaan. Untuk mengetahuinya lebih dalam Wartawan Sabili Rivai Hutapea mewawancarai Pimpinan ar- Rahman Quranic Learning ini di Jakarta. Berikut petikannya:

Mengapa Umat Islam di Indonesia kuat secara mayoritas, tapi lemah dalam kualitas?


Sejujurnya umat kita barulah berbentuk segerombolan orang yang basic neednya ingin bersosial atas nama agama. Tapi, kebersosialannya kita tak dibangun di atas pondasi syariat karena syubhatnya pemikiran dan syahwat kekusaannya lebih dominan dari ketaatannya. Kedua, ibadah umat ini kelihatan luar biasa, namun mereka tak mau berdakwah. Padahal, Islam meminta kepada umatnya, selain beribadah tekun juga seharusnya berdakwah, menyampaikan kebenaran Islam kepada banyak orang.

Lantas, apa dampak negatifnya?

Atas dua fenomena ini, (yaitu berkumpul tapi tak berbaris tegakkan lailahaillallah dan lemah dalam berdakwah) menyebabkan kebersamaan di kalangan umat tak bermakna apa-apa. Padahal, semestinya kebersamaan ini membentuk barisan dan barisan melahirkan kekuatan.

Contoh konkrit Ustadz?

Ibadah yang dilakukan tanpa disertai ghirah dan semangat berdakwah yang tinggi akan stagnan, bahkan akan mengalami kemunduran signifikan. Akibat lanjutannya umat tidak berdaya di berbagai bidang, seperti sosial, ekonomi, politik, dan lainnya. Umat akan terpuruk dibanding umat lainnya di berbagai bidang.

Bagaimana solusinya?


Kita kembali kepada orisinalitas Islam. Sebagai ilustrasi, banyak sekali yang dilakukan pimpinan Islam tapi tidak didasari oleh konsep shalat berjamaah. Maka, tidak mungkin mendapatkan pertolongan Allah SWT.

Bangunan umat sudah diletakkan dasarnya oleh Rasulullah saw. Bid’ah-bid’ah yang kita lakukan dalam merekonstruksi umat telah terjadi. Ini penyebab yang paling mendasar ketertinggalan umat. Ditambah lagi adalah syahwat kekuasaan dan syubhat pemikiran yang melanda umat.

Dalam bidang politik misalnya, Islam Indonesia lemah karena partai politik Islam tidak bersatu dan terpecah. Seandainya, mereka mau berkoalisi, insya Allah pertolongan Islam akan datang. Pertolongan Allah akan datang kalau umat dapat bersabar dalam memperjuangkan Islam.

Termasuk di bidang ekonomi?


Ya, umat kita ini banyak yang tidak berzakat. Banyak mengaji, zikir, bahkan haji berkali-kali, tapi banyak yang tidak berzakat. Mau meniru ekonomi syariah manapun, tapi kalau tidak bayar zakat keberkahan tidak akan datang.

Solusinya adalah kita kembali ke hal yang fundamental saja. Tidak usah cari pemimpin yang kaya dan baik, tapi tak shalat berjamaah. Maka jangan berharap pertolongan Allah datang. Karena kedaulatan terjadi karena adanya pertolongan dari Allah.

Logika menang dan kuat hanyalah satu, yaitu pertolongan dari Allah. Kalau tidak ada pertolongan Allah, berapa pun kekuatan yang dimiliki, tidak akan berarti apa-apa.

Lihat perjuangan kemerdekaan Indonesia dulu. Dari semua sisi Indonesia masih lemah, tapi kenapa dapat meraih kemenangan dari kaum penjajah. Penyebabnya, karena saat itu masyarakat merdeka jiwanya.

Lihat jenderalnya, bukanlah orang yang berbintang lima atau bergelar seabreg, tapi maaf orang yang berpenyakit TBC. Kemana-mana ia ditandu oleh anak buahnya. Tapi jiwanya merdeka dari syahwat kekuasaan dan syubhat pemikiran. Karena itu, ia sanggup berkata, “Kami siap mempertahankan kedaulatan RI sampai tetes darah penghabisan.”

Bagaimana dengan pemimpin umat saat ini?

Di sini letak persoalannya. Pemimpin umat saat ini, tidak seperti pemimpin umat dulu. Pemimpin saat ini lebih cinta dunia, harta, pangkat dan kedudukan. Padahal al-Qur’an hanya meminta mereka mau berkorban untuk Islam.

Sejujurnya, pemimpin saat ini terserang penyakit wahn (cinta dunia). Saat ini terjadi distorsi atmosfir sirah. Sirahnya benar, tapi cara menafsirkannya yang keliru. Amr bin Ash atau Abdurrahman bin Auf disebut kaya raya bukan sekadar penampilannya, tapi karena kedermawanannya dan keadilannya mendistribusikan kekayaan. Saat ini sulit menemukan pemimpin Islam seperti itu.

Di Indonesia ini unik, bank-bank konvensional jadi “mualaf” karena mau pakai istilah syariah, tapi tak mau pakai syariat karena di belakang “H” ada profit, tapi di belakang “T” ada risiko. Sehingga ramai-ramai membentuk ekonomi syariah, bukan syariat.

Bukankah fenomena berdirinya bank syariah adalah sesuatu yang harus didukung?


Ini memang sebuah proses perlahan-lahan menuju kedaulatan ekonomi umat. Rasulullah saw orang yang paling tahu pusat uang di mana. Rasulullah juga orang yang paling tahu bagaimana kedaulatan politik, tapi Rasulullah adalah orang yang paling zuhud pada dunia. Rasulullah tahu dunia hanya dapat ditaklukkan dengan kezuhudan bukan dengan kemewahan. Jadi ada logika-logika terbalik di mana syahwat dan syubhat kekuasaan sudah menggelayut dalam diri pemimpin umat.

Saat ini juga pemimpin mengukur kesuksesan dengan banyaknya konstituen, uang. Logika yang mereka bangun tidak akan berhasil tanpa uang dan kekuasaan. Di atas kertas, benar, tapi kenyataannya tidak. Lihat sirah Islam. Jika kemenangan didasari uang, kekuasaan, di atas kertas seharusnya Fir’aun yang menang melawan Musa. Sebaliknya, Musa yang menang. Pemimpin sudah tak percaya diri lagi dengan ayat yang berbunyi, “Wahai Nabi cukuplah Allah SWT sebagai pelindungmu dan cukuplah konstituenmu orang-orang yang beriman.”

Dapat dijelaskan lebih dalam penyebab hal ini?


Saya ingin kembali kepada yang fundamental dan sederhana saja sebagaimana yang disebutkan dalam ajaran Islam. Penyebabnya ada tiga, yaitu syirik, cinta dunia dan takut mati.

Syiriknya di mana?

Saat ini di kalangan umat muncul pola laku animisme dan dinamisme baru. Contoh berpikir animisme begini. Mereka mengatakan mana mungkin kita bisa mengubah situasi kalau tidak masuk sistem. Karena itu, kita harus berkuasa. Atau ada juga mengatakan, jika politik di isi orang-orang jelek, mana mungkin akan merubah sistem.

Jawaban simpelnya begini. Apa dulu Nabi saw masuk sistem saat mengubah negeri. Sebutkan Nabi dan sahabat mana yang masuk sistem mengubah negeri.

Selain animisme, pemikiran dinamisme juga terjadi di kalangan umat. Yaitu, mereka yang mengorientasikan dirinya pada materi dan uang. Akibat, perjuangan menegakkan Islamnya menjadi lemah. Pada gilirannya, konstituen kecewa dengan para pemimpinnya.

Soal cinta dunia?


Diakui atau tidak, dunia ini indah. Ironisnya, para pemimpin terjatuh kecintaan pada dunia. Akibatnya, mereka sulit untuk bersikap tegas dan cenderung kompromistis kepada kebatilan. Bagaimana Islam akan tegak jika pemimpinnya lebih cinta dunia dari pada akhirat.

Persoalan ketiga adalah takut kematian, ancaman dan lainnya. Diakui atau tidak, para pemimpin negeri ini dijangkiti penyakit takut mati, takut ancaman dan takut lainnya. Inilah yang menyebabkan bangsa ini tidak pernah berdaulat karena pemimpinnya lebih cinta dunia dan takut mati. Pemimpin yang takut mati, tidak akan dapat diharapkan untuk menegakkan Islam.

Karena itu kita membutuhkan pemimpin umat yang bebas dari hama wahn. Kita memerlukan pemimpin yang mengatakan kebenaran absolut adalah datang dari Allah. Kemudian ia tidak pernah ragu dan jadi peragu. Setiap keputusannya selalu dilandasi atas dalil Islam. Merekalah yang dapat diharapkan dalam perjuangan Islam. Jadi terpuruknya bangsa ini karena pemimpinnya telah terjangkiti syubhat pemikiran dan syahwat kekuasaan yang berlebihan.

Ciri apa yang patut ditiru umat dari generasi awal Islam dulu?

Generasi awal adalah orang yang jujur akan janjinya. Mereka generasi yang dibentuk oleh Rasulullah. Mereka adalah sekelompok orang yang sangat berpengaruh, militan dan konsisiten memperjuangkan tegaknya nilai-nilai Islam. Orang seperti inilah yang tidak kita punyai saat ini.

Generasi awal tidak kepikir berjuang untuk menumpuk harta. Ketika Rasulullah memberi ghanimah kepada salah seorang sahabat saat berhijrah, sahabat itu menolak dan mengatakan, “Ya Rasulullah bukan untuk ini saya berhijrah, tapi saya merindukan panah itu menancap di leherku.” Dan ia pun terbunuh dan panah menacap di lehernya. Rasulullah kemudian memberi jubah kebesaran kepadanya. Saat ini, adakah pemimpin yang berani menolak ghanimah dan mengatakan saya merindukan panah menancap di leherku.

Jadi apa persoalan besar saat ini?

Umat ini kehilangan teladan pemimpin. Yang diinginkan umat dari pemimpin adalah amanah dan keteladan. Kenapa umat jadi kocar-kacir seperti saat ini karena antara yang ia dapatkan di masjid dengan kenyataan sosialnya gap. Inilah yang membuat umat akhirnya frustasi.

Karena itu, umat membutuhkan pemimpin yang memegang amanah, hidupnya bersahaja, tetap bersahaja walau proyek besar di depannya dan sayang kepada umatnya. Inilah pemimpin yang dicari umat saat ini, tidak ada yang lain.

Belakangan, kesadaran umat pentingnya mengaji tumbuh. Benarkah?


Ya, hal yang melatarbelakanginya banyak. Antara lain, umat mulai sadar bahwa selama ini mereka memakai referensi yang dhaif sehingga mereka mencari pengajian-pengajian yang menyampaikan referensi yang benar. Mereka juga mencari para ustadz yang memiliki integritas karena selama ini mereka tidak mendapatkan itu.

Apakah karena fenomena ini ustadz membuat kelas pengajian yang unik?


Saya coba lemparkan kelas tadabbur Qur’an. Pada akhirnya yang ikut dalam pengajian itu adalah orang-orang pilihan yang ingin mencari ilmu, bukan sekadar wisata spirituil. Yang tadabbur Qur’an biasanya orang-orang yang mau mikir, menulis, mengkaji bukan sekadar mau rekreasi spirituil saja. Meskipun untuk awalnya, hal itu sudah cukup bagus. Namun dalam kenyataannya biasanya mereka tidak kuat untuk tadabbur Qur’an.

Mengapa tadabbur Qur’an ini begitu istimewa?


Dapat satu saja orang yang mau belajar, menganalisa dan mengkaji Qur’an, bandingannya lebih dari 10 orang. Di sini letak istimewanya. Saat ini saya berpikir bagaimana al-Qur’an dapat dinikmati oleh orang Indonesia yang tak mengerti bahasa Arab. Seseorang yang mau menguasai al-Qur’an, harus memiliki syarat ikhlas, menguasai alat bahasa, menyesuaikan akselerasi gaya rasa. Pertama, masuk saja dulu kelas tadabbur yang penting bisa baca meskipun belum bisa menyambungkannya. Kemudian difasilitasi, misalnya tempatnya nyaman, kurikulumnya jelas dan lainnya.

Apakah dakwah yang dibutuhkan umat?


Lihat teori marketing Nabi Ibrahim. Allah SWT memerintahkan Ibrahim memanggil orang sedunia untuk mendatangi Ka’bah. Padahal Ka’bahnya dia sendiri yang membangun. Bentuknya pun biasa saja, tidak terlalu bagus presisinya. Untuk mencapai ke sana pun harus dengan perjuangan yang luar biasa.

Tapi, kita membutuhkan pemuda-pemuda yang berpikir out the box, seperti Ibrahim. Awalnya, Ibrahim tak PD (percaya diri) menjalankan perintah Allah memanggil manusia ke Ka’bah. Marketing tools juga nggak ada untuk mengajak ke sana. Namun Allah meyakinkan Ibrahim bahwa banyak orang yang akan datang ke sana.

Tugas Ibrahim adalah memanggil manusia sedunia, sedangkan tugas Allah SWT adalah menyampaikan ke hati manusia. Ibrahim tidak tahu kalau frekuensi ada yang mengendalikan sampai ke hati manusia. Dan janji Allah terbukti, di kemudian hari orang-orang berduyun-duyun mengunjungi Ka’bah, hingga saat ini, bahkan sampai akhir zaman. Inilah janji Allah SWT yang harus diyakini. Tugas kita adalah menyampaikan amanah Allah sedangkan yang menentukan hasilnya adalah Allah SWT. Di sinilah banyak umat yang tidak meyakini janji Allah SWT sehingga umat ini terpuruk.

Dapat diberikan contohnya?

Apa yang dilakukan Mush’ab bin Umair ketika berdakwah di Madinah. Ia ditantang dua pemuda Madinah yang siap menancapkan pedangnya ke tubuh Mush’ab. Tapi Mush’ab berkata, “Saya tidak akan bacakan ayat kalau kalian tidak duduk.” Hanya dua ayat al-Furqan ia bacakan, mereka langsung tunduk. Jadi, tugas kita membacakan ayat.

Allah SWT menurunkan al-Qur’an ini kepada Rasulullah secara perlahan-lahan agar Nabi dapat menyampaikan ke umat. “Sengaja Qur’an ini Aku turunkan bagian demi bagian untuk kau bacakan kepada manusia perlahan-lahan.”

Inilah saatnya kita mengajak manusia untuk back to Qur’an. Ke mana-mana, saya sering mengenalkan identitas sebagai guru ngaji. Suatu waktu pernah ada yang bertanya kepada saya kenapa bangga disebut guru ngaji? Saya katakan karena lebih tinggi dari presiden. Sebaik-baik karir kalian adalah yang mendalami al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang banyak. Jadi, seperti halnya Nabi Ibrahim dan sahabat, kita harus percaya diri menyampaikan dan membacakan al-Qur’an kepada umat. Insya Allah, perubahan akan terjadi di negeri ini.

Majalah SABILI No 26/TH XVIII, 29 September 2011.
http://www.eramuslim.com/ Publikasi: Kamis, 29/09/2011 19:37 WIB
Nahimunkar.com

Komentar

Postingan Populer