Ustadz Kopral Macet

“Yang terbaik di masa jahiliyah, terbaik pula di masa Islam,” ungkapan itu terlontar dari lisan Rasulullah saat mengomentari pribadi Umar bin Khattab. Umar adalah sosok kontroversial yang bergabung dalam barisan dakwah Islam saat Islam berada di bawah tekanan hebat kafir Quraisy. Masuknya Umar tak hanya menjadi tameng bagi orang-orang yang lemah, juga menjadi salah seorang pelopor perkembangan Islam. Padahal, sebelumnya Umar dikenal sangat membenci Islam.

Dalam banyak kesempatan Rasulullah kerap memuji Umar setinggi langit. Nabi saw pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Banyak ayat yang diturunkan Allah SWT berkenaan dengan diri Umar, bahkan untuk menasihatinya, seperti pelarangan minum khamar, pemisahan istri nabi dari orang-orang, pengenaan hijab bagi mereka. 

Dari Umar pulalah usulan tidak memakai terompet untuk panggilan adzan. Ia yang pertama kali memikirkan pengumpulan al-Quran dan menyatukannya dalam sebuah mushaf. Tak berlebihan bila Rasulullah menggelari Umar dengan al-Faruq, sang pembeda antara hak dan bathil.

Selama sepuluh tahun menjabat khalifah menggantikan Abu Bakar, Umar dikenal sebagai pemimpin yang berpendirian keras, adil, sangat teliti, wara’ dan sangat sederhana hidupnya. Ia tak terpengaruh perolehan ghanimah (harta rampasan perang) yang terus mengalir seiring dengan makin meluasnya wilayah kekuasaan Islam. Di masa pemerintahan Umar pasukan Islam berhasil menguasai seluruh Persia lewat pertempuran Qadisiyah. Pasukan Islam kemudian menaklukkan Syam dan membebaskan Palestina dari cengkeraman Romawi. Penyebaran Islam pada masa kekuasaannya hingga Mesir dan wilayah Afrika Utara lainnya.

***
Dari kasus di atas tergambar, lewat tarbiyah islamiyah yang dilakukan Rasulullah potensi besar Umar bin Khattab terasah secara maksimal. Kekuatan fisik, kharisma, kecerdasan dan sikap keras Umar termanfaatkan bagi kepentingan dakwah. Tak ada yang tersisa pada diri Umar kecuali kebaikan. Tentu saja Umar bukan satu-satunya. Ribuan sahabat generasi awal dakwah mengalami lompatan serupa saat mereka memasuki Islam.

Apa rahasia keberhasilan tarbiyah Rasulullah? Dari sejumlah buku sirah tergambar bahwa Rasulullah dalam melakukan proses pembinaan mengembangkan konsep pendidikan yang integral. Yang dikembangkan Rasulullah tak hanya aspek ruhiyah (keimanan/mental), juga fikriyah (intelektual) dan jasadiyah (fisik-material). Konsep itu dibingkai oleh manhaj dakwah yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah, juga keteladanan yang langsung diperlihatkan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari.

Di samping itu, hubungan yang dibangun oleh Rasulullah sebagai murobbi (pembina) dengan para mutarobbi (binaan) sangat dinamis. Sebagai murobbi, Rasulullah memiliki sejumlah peran, baik sebagai pemimpin, syaikh, guru, dan sahabat. Jadi, peran murobbi tak sekadar tranformasi pengetahuan, tapi semua aspek. Inilah yang membedakan tarbiyah dengan taklim yang lebih menekankan aspek pengetahuan.

Pertemuan antara kepiawaian seorang murobbi dengan mutarobbi berkualitas inilah yang menghasilkan generasi awal dakwah yang gemilang. Bila salah satu dari dua faktor itu hilang, atau kurang berfungsi, maka tarbiyah sulit menggapai hasil maksimal. Boleh jadi inilah yang menjadi penyebab munculnya “kopral macet”, istilah yang digunakan sebagian aktivis dakwah, yang berarti orang yang stagnan (mandeg) dalam keilmuan maupun dalam interaksi dan kontribusinya dalam dakwah.

Ustadz Kopral Macet, Murid Sersan Gagal
Faktor murobbi
Murobbi adalah faktor terpenting dalam tarbiyah. Murobbilah yang secara formal memenej kegiatan tarbiyah. Amal tarbiyah berbeda dengan taklim. Amal tarbiyah lebih pada pembinaan kader, yang bukan hanya melahirkan jundi (prajurit) dakwah, tapi juga qiyadah (pemimpin). Ia harus memberi gambaran dasar tentang Islam, dakwah, rambu-rambu dakwah, karakteristik dakwah, marhalah dakwah, tujuan-tujuan dakwah, dan hambatan-hambatannya. Dengan begitu sang mutarobbi memiliki gambaran dan persepsi lengkap tentang tarbiyah.

Murobbi juga harus mampu melihat potensi yang ada pada diri para mutarobbinya dan mengembangkan agar berguna bagi dakwah. Ia juga harus memahami sifat para mutarobbinya agar tepat dalam pemberian nasihat dan instruksi. Hal ini sangat penting agar terbangun kesadaran secara alamiah dan kreatifitas, sehingga sang mutarobbi tak bergantung pada pertemuan pekanan dan hanya menunggu instruksi semata.

Seringkali terjadi hubungan yang tak harmonis antara murobbi dan mutarobbi lantaran sang murobbi tak memahami fungsi dan perannya, serta tak mau belajar memahami sifat mutarobbinya. Murobbi banyak menghamburkan instruksi tanpa pernah mau memahami kondisi mutarobbi. Atau menyindir bila sang mutarobbi melakukan kesalahan. Tak ada diskusi dan dialog. Umumnya kondisi ini memunculkan dua kemungkinan, pertama, bagi mutarobbi yang kritis akan mundur teratur. Kedua, yang bertahan akan menjadi kader taklid buta.

Sikap otoriter yang dikembangkan sang murobbi itu boleh jadi disebabkan ingin menutupi kelemahannya dalam bentuk komando. Kelemahan itu bisa dalam bentuk ruhiyah, keilmuan, pengalaman dan wawasan. Karenanya setiap murobbi harus senantiasa meningkatkan kualitas dirinya agar tak menjadi murobbi “kopral macet.”

Meski telah menjadi murobbi, seseorang tak boleh berhenti belajar, karena setiap waktu kita berinteraksi dengan ruang-ruang yang berbeda-beda; ruang dakwah, politik, ekonomi, sosial dan budaya. “Seorang guru yang stagnan juga akan menghasilkan murid yang stagnan dan juga seorang murid yang stagnan takkan memberikan kontribusi bagi orang lain,” tandas Amang.

Faktor Mutarobbi
Fenomena “kopral macet” juga bisa disebabkan faktor sang mutarobbi sendiri. Tak ada kesadaran untuk meningkatan dan melakukan perbaikan diri. Hal itu terjadi karena ada kesalahan persepsi seakan-akan dia sudah merasa puas ikut dan bergabung dalam tarbiyah. Padahal, ia memiliki tanggungjawab dakwah sebagaimana sang murobbi. Ia harus berusaha menaikkan kemampuannya sehingga bisa menjadi murobbi pula. Tak hanya jadi pencatat dan pendengar.

Agar tak mengalami kemandegan dalam tarbiyah, paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, menanamkan kesadaran di adalam diri bahwa hidup ini berkembang dinamis. Kalau ia tidak ikut dinamis, maka akan tertinggal oleh kehidupan. Kedua, harus membangun pemahaman yang komprehensif, universal dan integral terhadap keislaman itu sendiri. Kesadaran ini akan merangsang seseorang untuk tak berdiam diri, sebab, banyak persoalan yang harus dipecahkan. Dari dua hal itu akan muncul motivasi dari dalam diri untuk melakukan perubahan-perubahan yang merupakan esensi dari pembelajaran.

Masalahnya memang kembali kepada pribadi masing-masing. Tetap berkutat dalam kemalasan atau bergerak mengisi kehidupan peningkatan amal yang terus menerus. Sebagaimana Umar bin Khattab yang terus berupaya mengkhatamkan hafalan Qurannya, meski baru ia capai beberapa hari menjelang ajalnya tiba. Wallahu a’lam. [Majalah SAKSI/islampos]

Komentar

Postingan Populer