Che Guevara : Api yang tak kunjung padam

Tahun berjalan, mode berganti, post-modernisme menggantikan modernisme, kepemimpinan demokratis menggantikan kediktatoran, dan tembok berlin jatuh ke bawah tembok kapital. Tapi tiga puluh tiga tahun kemudian, pesan Che Guevara tetap menjadi suluh bagi mereka yang percaya bahwa dunia yang lebih baik itu mungkin.

Ada sesuatu dalam hidup dari peninggalan dokter Argentina/gerilyawan/revolusioner Cuba yang masih di bicarakan oleh generasi penerus di tahun 1997. Siapa yang dapat menjelaskan menggunungnya jumlah artikel, buku, film, debat tentang che ? Peringatan 30 tahun kematiannya dilakukan dengan berbagai macam acara, Siapa yang tertarik pada 30 tahun kematian Joseph Stalin ?

Seperti Jose Marti, Emiliano Zapata, Augusto Sandino, Farabundo Marti, Camilo Tores, Che adalah salah satu pejuang yang tewas disaat pertempuran, saat senjata masih dalam genggaman, dan seorang yang menjadi, selamanya, benih yang di taburkan di tanah Amerika Latin, menjadi malaikat dalam surga harapan dan keinginan, menjadi bara yang menyala dibawah abu ketidakpuasan dan keresahan.Di dalam setiap kebangkitan gerakan revolusioner di Amerika Latin selama 30 tahun ini, mulai dari Argentina sampai Chili, dari Nicaragua sampai El Savador, dari Guatemala sampai Mexico dan Chiapas, selalu ada jejak dari “Guevarismo”, kadang jelas, kadang tidak. Tidak hanya dalam pandangan kolektif mereka yang berjuang saja, tapi juga dalam perdebatan mereka tentang metode, strategi, dan di setiap bibit-bibit perlawanan.

Bibit-bibit Guevarismo telah di semaikan selama 30 tahun terakhir, di tanah yang dipupuk oleh budaya politik kaum kiri Amerika Latin. Sekarang bibit itu telah menjadi ranting, daun-daun, dan buah. Jejak-jejak Che adalah satu benang merah dari mereka yang ada di Pantagonia sampai Rio Grand, yang menenun mimpi-mimpinya.

Apakah ide-ide Che ketinggalan jaman ? Apakah mungkin mentransformasikan atau merubah Amerika Latin tanpa Revolusi ? Ini adalah teori dari beberapa teoritikus kiri Amerika Latin ( yang menyebut dirinya ”realis”) berdasarkan pengalaman selama beberapa tahun terakhir, yang dimulai oleh jurnalis dan penulis berbakat, Jorge Castaneda dalam bukunya yang terkenal yang berjudul Melucuti Utopia (1993)

Hanya beberapa bulan setelah peluncuran bukunya, negeri Castaneda, Mexico, terlihat uprising yang spektakular yang terjadi pada penduduk asli, Chiapas, di bawah sebuah kepemimpinan sebuah organisasi utopis bersenjata, EZLN, yang prinsip-prinsip pengorganisirannya berasal dari tradisi Guevarist. Benar, sangat kontras dengan grup gerilyawan tradisional, Zapatista atau EZLN, mengatakan bahwa kebutuhan obyektif mereka bukan mengambil alih kekuasaan, tapi menyediakan inspirasi dan support untuk suatu organisasi dari Mexican civil society, dengan tujuan utama perubahan besar dalam sistem politik dan sosial negeri.

Namun, tanpa uprising di Januari 1994, Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN)-masih bersenjata dalam empat tahun kemudian-tidak akan menjadi poin referensi dari neo-liberalisme, tidak hanya di Meksiko tapi juga di Amerika Latin dan seluruh penjuru dunia. Zapatismo adalah campuran dari beberapa tradisi subversif, tapi guevarismo adalah bumbu kunci di rebusan masakan dalam kebudayaan revolusioner yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dalam sebuah artikel di Newsweek, Castaneda mulai bertanya apakah benar-benar mungkin untuk menggunakan metode non-revolusioner untuk merebut kekuasaan dan kemakmuran dari tangan elit politik yang berkuasa dan orang-orang kaya, dan merubah sturktur sosial yang sudah mengakar di Amerika Latin. Jika bukti ini sangat susah untuk di temukan di akhir abad ke-21 ini, dia berkata nantinya dunia akan menyadari bahwa, “ Bagaimanpun, Che Guevara memiliki sebuah poin”[2]

Politisi adalah Personal
Che bukan hanya seorang pejuang yang heroik, tapi juga seorang pemikir revolusioner, dengan sebuah proyek politis dan moral dan sebuah sistem dan nilai yang kerena itu dia perjuangkan dan dia berikan hidupnya. Filosofi yang memberi dia pilihan ideologi dan politik yang koheren, berwarna, bercita rasa, adalah sebuah humanisme revolusioner yang sangat dalam. Untuk Che, Komunis sejati, revolusioner sejati adalah seseorang yang merasa bahwa problem terbesar umat manusia adalah problem dia juga, seseorang yang mampu merasakan kesedihan ketika ada orang lain yang terbunuh, nggak peduli dia berada di belahan dunia yang mana, dan merasakan kegembiraan ketika bendera kebebasan berkibar di manapun.[3]

Internasionalisme-nya Che-sebuah jalan hidup, sebuah kepercayaan sekuler, sebuah kategori imperatif, dan sebuah semangat nasionalitas-adalah sesuatu ekspresi yang hidup dan nyata dari humanisme marxis revolusioner ini.

Che selalu mengutip perkataan Jose Marti bahwa “setiap manusia seharusnya merasakan sakit diwajahnya ketika ada orang lain yang mukanya di tampar”. Perjuangan untuk martabat ini adalah salah satu prinsip etis yang menimbulkan inspirasi untuk semua tindakannya, mulai dari pertempuran Santa Clara sampai perlawanan terakhir di pegunungan Bolivia. Apa yang disebut Che, “bendera dari martabat manusia” masih menjadi term yang penting dalam kebudayaan Amerika Latin. Itu semua pertamakali berasal bersumber dari Don Quixote, sebuah karya yang dibaca Che di Sierra Maestra, yang di gumanakan sebagai “literatur kelas” yang memberi dia rekruitmen gerilyawan petani, dan sebuah kepahlawanan yang dengan itu dia identifikasikan melalui sebuah surat kepada orang tuanya.

Nilai ini tidak asing bagi marxisme. Marx sendiri menulis bahwa “proleteriat membutuhkan martabat sebagaimana kebutuhannya atas roti”. ("Communism and the Rhine Observer" - September 1847).

Pertimbangan pemikiran strategis-nya sering terbatasi dengan ide gerilya foco (memperluas nucleus). Tapi ide-ide dia dalam revolusi di Amerika Latin sangat mendalam. Di tahun 1967 dia mengatakan bahwa “Tidak ada perubahan yang bisa di buat : baik itu revolusi soaial maupun revolusi yang bersifat karikatif”. Akibatnya, Che membantu seluruh generasi revolusioner untuk membebaskan dirinya dari penjara “Stagisme” yang berasal dari dogmanya Stalinis. (Pesan untuk Konferensi Tricontinental, 1967).

Tentu, kia dapat menemukan dalam tulisannya-apakah dalam pengalaman di Kuba atau di Amerika Latin-dan terlebih dalam episode tragis di Bolivia, sebuah tendensi unutk meredusi revolusi ke perjuangan bersentaja, perjuangan bersenjata ke perjuangan gerilya di pedesaan, perjuangan gerilya itu sendiri yang dibentuk dalam Foco. Tendensi inilah yang mendominasi secara subasequen tradisi guevarist di Amerika Latin.

Tapi kamu juga bisa menemukan bagian-bagian dalam karyanya yang memberikan nuansa pada konsepsi gerilya-sebagai contoh dalam bagaimana pentingnya kerja politik massa, atau dalam kekurangan dari perjuangan bersenjata di negara yang ber-rezim demokratik.Tidak berarti penolakannya terhadap pembunuhan atau terorisme buta.[4]

Peninggalan guevarist, yang ada dalam strategi grup revolusioner Amerika Latin di 60-an sampai 80-an., masih bersama kita, sebagai sebuah perasaan revolusioner dan perlawanan yang membaja dalam rangka unutk mencapai bagian yang penting dari ideology kiri, dari gerakan sosialis seperti Gerakan Buruh Tani di Brazil, unutk menyebut dirinya sendiri sebagai sosialis.

Sosialisme di Ameriak, tulis Jose Carlos Mariategui di 1929, bukannlah sebuah jiplakan, tapi sebuh kreasi yang heroik. Inilah yang dilakukan oleh Che Guevara, yang menolak menjiplak model-model yang “sudah ada” dan mencari jalan baru unutk sosialisme, secara lebih radikal, lebih egaliter, lebih bersifat persaudaraan, lebih humanis yang cocok dengan etika komunis sejati.

Salam Persaudaraan untuk umat manusia
Ide Che tentang sosialisme dan demokrasi masih berkembang sampai akhir hidupnya, tapi dalam pidatonya dan tulisannya, tiap orang bisa melihat dengan jelas ketika ia mengkritisi para pengikut Stalinis. Dalam pidatonya yang terkenal “pidato Algeria” di bulan Februari 1965 ia mengajak negara-negara yang mengaku dirinya sosialis untuk ”menarik diri dalam keterlibatannya dengan negara-negara barat yang eksploitatif”. Ia menambahkan “Sosialisme takkan dapat terwujud jika tak ada tranformasi kesadaran kita yang membimbing pada persaudaraan sesama umat manusia”.

Dalam essay bualan Maret 1965, “Sosialisme dan penduduk Kuba”, Che menganalisa model-model pembangunan struktur sosialisme di Eropa Timur. Dengan persepsi humanis revolusionernya, ia menolak konsepsi yang mengklaim “untuk menaklukan kapitalisme dengan jimat-jimatnya dalam mencapai ilusi pembangunan sosialisme lewat senjata warisan kapitalisme (komoditi-komoditi ekonomi, keuntungan, tingkat peningkatan yang signifikan dan sebagainya), kita akan menemui jalan buntu.

Menurut Che, salah satu bahaya utama dari model yang diimport dari Uni Soviet adalah ketidaksamaan pertumbuhan sosial dan bentuk-bentuk hak istimewa dari para teknokrat dan birokrat, dalam sistem redistribusi ini,”managerlah yang untung, kamu hanya butuh melihat proyek terakhir dari Republik Demokratik Jerman, hal yang penting adalah, manajemen sang direktur, atau penghargaan yang diterimanya dalam mengurus manajemen”.

Pemikiran ekonomi Che, terutama dalam hal transisi sosialisme, sangat menarik dan problematik. Menarik karena sifat egalitarian dan anti-birokrasinya, dan dalam kritiknya tentang pemujaan komoditi-atau pasar-,termasuk pemujaan yang dilakukan negara-negara yang mengaku “sosialis”.

Seorang marxis Belgia dan pemimpin Internasional IV, Ernest Mandel sependapat dengan Che dalam melawan pandangan para pengikut pemikiran ekonomi Stalin (spt Charles Bettelheim) dan orang-orang Kuba yang meniru model ekonomi Soviet tahun 1963-64.

Tapi pemikiran-pemikiran Che juga sangat problematis dalam beberapa hal. Tidak seperti yang mereka katakan maupun sebaliknya. Khususnya diamnya Che tentang sosial demokrasi. Argumentasi Che tentang perencanaan ekonomi dan penolakan pasar tidaklah salah: sebaliknya akan muncul kekuatan baru untuk melawan neo-liberalisme yang sekarang mendominasi. Tapi pemikirannya tak meninggalkan jawaban terhadap pertanyaan inti yaitu: Siapa yang merencanakan? Siapa yang mengambil keputusan penting dalam semua perencanaan ekonomi? Siapa yang menentukan prioritas dalam produksi dan konsumsi?

Perencanaan, yang dalam hal ini tak terhindarkan, menjadi suatu bentuk otoritarian dan sistem birokrasi yang tak efisien dari sebuah kediktatoran, kecuali disertai dengan plurallisme politik, diskusi terbuka dan kebebasan untuk memilih kebijakan ekonomi mana yang akan dipakai.

Sejarah Uni Soviet membuktikan, dengan kata lain, problem-problem ekonomi pada masa transisi menuju sosialisme tak dapat dipisahkan dan sangat bergantung pada sistem politik

Pengalaman Kuba 20 tahun lalu juga memperlihatkan pada kita tentang konsekwensi negatif kurangnya lembaga-lembaga yang demokratis dan sosialis. Walaupun Kuba juga dapat menghindari totalitarianisme dan perubahan bentuk-bentuk birokrasi seperti yang ada di negara-negara yang mengaku sosialis sejati.

Polemik Che terhadap pemujaan pasar memang benar, tapi argumen-argumennya akan lebih meyakinkan jika dihadapkan pada konteks demokrasi oleh para pekerja dalam hal mekanisme perencanaan. Seperti yang Ernest Mandel tekankan, ada jalan tengah antara kebuntuan pasar di satu sisi dan perencanaan birokrasi ekonomi di sisi lain: manajemen oleh pekerja sendiri, secara sentralis dan demokratis, dan perencanan manajemen oleh himpunan para produsen.

Walaupun Ia tak percaya dengan model dari Soviet dan komitmennya yang anti birokrasi, dalam hal ini, ide-ide Che masih jauh dari kejelasan.

Che mati pada tanggal 8 Oktober 1967: hari yang akan selalu diingat pada milenium tentang penindasan terhadap kemanusiaan. Peluru-peluru membunuh lagi seorang pejuang kemerdekaan, tapi takkan bisa membunuh semangat, harapan dan impiannya. Mereka yang membunuh Che Guevara, Rosa Luxemburg, Emiliano Zapata, dan Leon Trotsky sangat marah dan kecewa setelah melihat bahwa semangat juang para pahlawan itu masih hidup dari generasi ke generasi yang memperjuangkan kemerdekaan.

Setelah runtuhnya tembok Berlin, dan berakhirnya rejim otoriter di Eropa Timur, kemenangan ekspansi para kapitalis global, dan hegemoni dari ideologi neo-liberalis, dunia sekarang terlihat sangat jauh dari kehidupan dan perjuangan Che. Tapi bagi mereka yang tak percaya pada teori Hegel “akhir sebuah zaman”, atau keabadian ekonomi liberal/kapitalis dan bagi mereka yang selalu melawan ketidakadilan sosial dalam suatu sistem, pesan-pesan dan semangat humanis revolusioner Che masih bisa dijadikan jalan menuju masa depan yang lebih baik.

Oleh : Michael Lowy[1]*

Notes:

1) Jorge Castaneda, "Rebels Without Causes", Newsweek, 13/1/1997 "We may discover, by the end of the century (...) that Che Guevara had a point, after all".
2) Che Guevara, Works, Volume III, Textes politiques, Paris, Maspero, 1968, p.118.
3) See for example E. Guevara, Military Writings, Paris, Maspero, 1968, p. 162.
4) Ibid. pp. 266-267.
5) Che Guevara, "Socialism and Man in Cuba", Political Documents, p. 283.
6) Che Guevara, "People and the Plan", Works, Volume VI, Unedited Writings, Paris, Maspero, 1972, p.90.
7) E. Mandel, "In defence of socialist planning", New Left Review, no. 159, Sept.-Oct. 1986.
18 June 1997.

[1] Penulis adalah peneliti di lembaga penelitian dari Fourth International
[2] Jorge Castaneda, "Rebels Without Causes", Newsweek, 13/1/1997 "We may discover, by the end of the century (...) that Che Guevara had a point, after all".
[3] Che Guevara, Works, Volume III, Textes politiques, Paris, Maspero, 1968, p.118.
[4] See for example E. Guevara, Military Writings, Paris, Maspero, 1968, p. 162.

Komentar

Postingan Populer