Georgia: Negeri Rebutan Kerajaan-Kerajaan Islam

Islam hadir di wilayah Georgia sejak 645 M, ketika asukan tentara Islam di era kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab berhasil menguasai wilayah timur negara itu.

Georgia. Negara trans-benua yang terletak di sebelah timur Laut Hitam itu memiliki peran penting dalam sejarah penyebaran Islam di benua Eropa dan Asia. Negara pecahan Uni Soviet itu berbatasan dengan Rusia di sebelah utara, Turki di sebelah barat daya, Armenia di sebelah selatan, dan Azerbaijan di sebelah timur.

Negara yang memiliki luas 69.700 kilometer persegi itu adalah rumah bagi 423 ribu umat Islam. Menurut data Pew Report, pada 2009 populasi Muslim di Georgia sekitar 9,9 persen dari total penduduk yang mencapai 4,4 juta jiwa. Umat Muslim di negara itu berasal dari tiga etnis, yakni Azeris di daerah pedalaman dan Tbilisi, etnis Muslim Georgia di Ajara, dan etnis Checen Kists di wilayah timur laut.Islam hadir di wilayah Georgia sejak 645 M. Pasukan tentara Islam di era kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab berhasil menguasai wilayah Timur Georgia dan menancapkan kekuasaan di Tbilisi. Hingga tahun 735 M, sebagian besar wilayah negara itu telah dikuasai penguasa Muslim.

Di era kekuasaan Dinasti Umayyah yang berbasis di Damascus, Khalifah Marwan II menempatkan perwakilannya di wilayah Georgia. Ketika berada dalam kekuasaan Kekhalifahan Islam, Tbilisi atau al-Tefelis menjelma menjadi kawasan pusat perdagangan antara dunia Islam dengan negara-negara di Eropa Utara.

Wilayah Georgia pun menjadi provinsi penyangga bagi kekhalifahan Islam, ketika itu, dalam menghadapi dominasi Bizantium dan Khazar. Seiring waktu, Tbilisi pun menjadi wilayah Muslim. Namun, pada 1122 M, situasi berubah ketika Raja David IV merebut Tbilisi dari Kekhalifahan Islam. Tbilisi pun sempat menjadi ibu kota sebuah negara Kristen.

Dinasti Timurid
Sepanjang sejarah, Georgia menjadi wilayah yang diperebutkan oleh kerajaan-kerajaan Muslim, seperti Timurid, Turki Usmani, serta Dinasti Safawiyyah. Memasuki abad ke-14, Georgia kembali dikuasai Kerajaan Islam. Dinasti Timurid yang dipimpin Timur Lenk menguasai Tbilisi – ibu kota Georgia -- pada tahun 1386 M.

Kekuasaan Dinasti Timurid pun terbentang dari Asia Tengah hingga Anatolia. Ketika berhasil menguasai Tbilisi, pasukan tentara Timur Lenk menangkap raja Bagrat V. Pada akhir 1401, pasukan tentara Timur Lenk menginvansi wilayah Kaukasus. Raja Georgia pun mengajukan perdamaian dengan mengirimkan utusan kepada Timur Lenk.

Perhatian Dinasti Timurid untuk menguasai seluruh wilayah Georgia terpecah, karena harus menghadapi pengaruh Dinasti Turki Usmani yang mulai membesar.
Timur Lenk pun menyetujui perdamaian dengan Raja Georgia dengan syarat membantu mengirimkan pasukan.

Setelah Dinasti Timurid runtuh, Georgia menjadi rebutan Dinasti Safawiyah dan Turki Usmani. Dari abad ke-16 hingga ke-18, kedua kerajaan Islam itu berebut pengaruh dan kekuasaan di kawasan Kaukasus. Kedua kerajaan itu pada 29 Mei 1555 menandatangani kesepakatan di Amasya.

Wilayah Georgia dibagi menjadi dua bagian. Georgia Barat meliputi wilayah bagian barat dan selatan menjadi kekuasaan Turki Usmani, sedangkan Georgia Timur masuk dalam genggaman Dinasti Safawiyah.

Dominasi Dinasti Safawiyah di Georgia telah menyebabkan terjadinya migrasi suku-suku Turki dari wilayah tersebut. Proses islamisasi pun terjadi di berbagai daerah. Tak hanya itu, Syariat Islam juga ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di Georgia Timur, Kekaisaran Safawiyah mempercayakan wilayah itu pada Kerajaan Kartli. Pada 1716, penguasa Kartli, Vakhtang VI memeluk Islam dan penguasa Safawiyah menjadikannya sebagai raja Kartli. Bakhtang IV lebih memilih pro-Rusia.
Muslimah Georgia dalam acara zikir bersama.
Memasuki abad ke-19 M, dua kekuatan Islam di Georgia, yakni Dinasti Turki Usmani dan Safawiyyah mulai meredup. Kekuatan umat Islam di Georgia pun semakin melemah. Pada masa itu, Kristen Rusia dibawah pimpinan Tsar menguasai Georgia. Jumlah umat Islam pun kian menyusut, meski tak sampai hilang.

Kondisi umat Islam kian terjepit di awal masa kekuasaan Soviet. Ideologi atheis yang dipegang rezim pada masa itu berupaya mematikan semua agama, termasuk Islam. Undang-undang Islam (Syariah) yang telah diberlakukan di beberapa wilayah yang ditempati umat Islam akhirnya dihapus pada 1926.

Untunglah, kondisi itu segera berubah. Sejak 1944, politik antiagama mulai berkurang. Seiring munculnya kebijakan Perestroika, umat Islam kembali bisa beribadah. Lewat sebuah kompromi, kaum Muslim mendapat kebebasan untuk menjalankan ibadah. Saat Perang Dunia II, Pemerintah Soviet mendirikan Dewan Agama Muslim untuk mengendalikan umat Islam di daerah tersebut.

Sejak pecahnya Uni Soviet, umat Islam Georgia mulai membangun jaringan dengan organisasi di luar nenegri seperti Iran dan Turki. Menurut laman Caucaz, jumlah umat Muslim di Georgia terus menurun. Jika pada 1989 jumlahnya mencapai 640 ribu jiwa atau setara 12 persen dari total populasi penduduk, maka pada 2009 hanya tinggal mencapai 423 ribu jiwa atau setara 9,9 persen dari jumlah penduduk.

Salah satu faktor yang membuat jumlah umat Islam menurun, menurut laman Caucaz, terjadi karena banyaknya umat Islam yang hijrah ke Rusia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak, serta ada juga yang migrasi ke Azerbaijan karena alasan keluarga.

Komentar

Postingan Populer