Para Jenius dari Indonesia Yang Berkarya di Luar Negeri 3

Ir. ADI RAHMAN ADIWOSO MSc - Pelopor Teknologi Baru dalam Telepon Bergerak Berbasis Satelit


Berbekal keahliannya di bidang telekomunikasi satelit, ia menghasilkan teknologi sekaligus produk baru yang belum ada di pasaran dunia. Inovasi Adi memungkinkan komunikasi lewat telepon genggam bisa dilakukan di mana saja. Ketika jaringan kabel belum menjangkau dan telepon seluler konvensional kehilangan sinyal, sistem telekomunikasi temuannya tetap “on”.

“Selama di atas kepala terlihat langit, komunikasi lewat telepon genggam bisa dilakukan”, kata Adi, Chief Executive Officer & President Director PT. Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang juga menduduki jabatan yang sama di Asia Cellular Satelite (ACeS). Alat telekomunikasi bebas blank spot dan irit tempat ini dimungkinkan berkat ide memasang satelit telekomunikasi di orbit geostationer. Di lintasan imajiner yang letaknya 36.000 km di atas permukaan bumi itulah, Adi menempatkan satelit Garuda 1. Satelit gagasannya itu berbobot 4,5 ton yang dilengkapi dua antena payung kembar selebar 12 meter dan mampu menjangkau sepertiga kawasan dunia. Karena ukurannya cukup besar, intensitas pancaran sinyalnya juga cukup besar.
Peluncuran satelit sipil terbesar di dunia pada Februari 2000 itu kontan membuat ciut para operator telepon satelit dunia. Ketika itu, bisa dibilang, seluruh satelit telekomunikasi dunia diluncurkan di orbit rendah (600 – 1.000 km) dan menengah (7.000 – 10.000 km). Daya jangkau satelit-satelit itu terbatas. Agar dapat meliput satu belahan dunia butu* sekitar 60 satelit berorbit rendah atau 12 satelit berorbit menengah. Kelemahan lain pengoperasian sistem telekomunikasi satelit pada telepon bergerak ketika itu adalah pesawatnya yang tidak praktis. Perangkat telepon bergerak yang bisa digunakan untuk berkomunikasi via satelit ukurannya lumayan besar, hampir sebesar kopor traveling. Untuk mengoperasikannya juga perlu stasiun bumi, berupa antena parabola berdiameter satu meter.

Terobosan yang dilakukan Adi tak hanya memperluas cakupan satelit, juga memperkecil dimensi pesawat telepon bergerak berbasis satelit ini. Dengan daya pancar 10 kw, sinyal Garuda 1 bisa diterima dengan pesawat telepon genggam yang sekaligus merupakan stasiun bumi. ”Inilah stasiun bumi terkecil dan termurah yang pernah dibuat manusia”, ujar Adi sambil menunjukkan telepon genggam Ericsson R190. Jaringan telepon satelit yang berinduk ke Garuda 1 itu kemudian dikemas dengan merek dagang Byru.

Cara kerja telepon ini sangat bergantung pada Garuda 1, yang dikendalikan fasilitas pengontrol satelit di pulau Batam. Di situ juga dibangun pusat kendali jaringan (network control center – NCC), yakni pengatur arus percakapan dengan panel pengaturnya. Garuda 1 mampu melayani 22.000 pembicaraan pada saat bersamaan. Selain itu, dibangun pula sebuah pintu gerbang (gateway) yang berfungsi sebagai operator lokal. Dengan Byru, pelanggan bisa menghubungi sesama telepon satelit, ke telepon GSM serta ke telepon rumah. Tiap permintaan sambungan akan dilakukan melalui satelit. Permintaan itu dianalisis oleh NCC Batam, untuk menentukan identitas penelepon dan menentukan gateway mana yang cocok dengan tujuan panggilan. Setelah itu, permintaan sambungan akan diteruskan ke telepon tujuan. Pembicaraan pun berlangsung. Semua proses itu berjalan sangat cepat, hanya dalam hitungan detik.

Untuk mewujudkan gagasan itu, Adi memang tak melakukannya sendirian. Meskipun Garuda 1 dibuat oleh Hughes Aircraft (dimana ia pernah bekerja), Amerika Serikat dan R190 dibuat Ericsson, Swedia, rancangannya dibuat sendiri oleh Adi dan timnya di PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang didirikan Adi dan Prof Dr. Ir. Iskandar Alisjahbana (guru besar ITB) pada 1991. Bersama guru besar dan mantan rektor ITB itulah, lahir Byru dan Pasti – merek dagang sistem telepon satelit buatan PSN. ”Kekuatan Adiwoso adalah kewirausahaannya”, kata Iskandar. Tanpa keberanian memasarkan sendiri, bisa jadi temuan telepon satelit geostationer itu cuma jadi prototipe di laboratorium. Atau malah menjadi barang dagangan perusahaan asing yang mampu memodali temuan tersebut.

Dengan perangkat telekomunikasi PSN ini, Byru, Pasti (Pasang Telepon Sendiri) dan jasa internet Bina (Balai Informasi Nusantara), penduduk-penduduk daerah yang tak terjangkau jaringan telepon kabel dan nirkabel lainnya tetap bisa bertelepon-ria dan menjelajah informasi lewat internet. Pada akhir 2003, PSM mengklaim telah membebaskan 2.975 desa di 40 kabupaten di Indonesia dari isolasi telekomunikasi dengan perangkatnya yang berbasis satelit.

Kemampuannya mengembangkan bisnis telepon satelit, ketika pesaingnya megap-megap (salah satunya, Iridium malah sudah bangkrut), sedikit banyak tak lepas dari pengalamannya berkecimpung di bisnis satelit. Setelah meraih gelar kesarjanaan di bidang aeronautical dan astronautical engineering dari Universitas Purdue, Amerika Serikat, Adi bekerja di Hughes Aircraft Company. Di situ ia ikut dalam proses pembuatan satelit Palapa pesanan Indonesia. Setelah delapan tahun bekerja di perusahaan pembuat satelit itu bersama koleganya, Adi mendirikan Orion Satellite Asia Pacific di Washington DC. Lantaran keasyikan bekerja, niatnya menggaet program doktor di California Institute of Technology gagal tuntas. Cita-citanya menjadi ahli pesawat terbang pun terlupakan.

Lama di rantau tak menghilangkan kerinduannya pada kampung halamannya. Ia menampik tawaran green card, tiket menjadi warga negara Amerika Serikat dan memilih bekerja di negeri sendiri. Pada 1982, ia boyongan ke Jakarta. Tapi belum genap sewindu bekerja di Tanah Air, Adi memilih pensiun dini. Kecintaannya pada alam di Tanah Air membulatkan tekadnya untuk berkelana dari Ujung Kulon hingga Maumere. Sampai suatu ketika, Iskandar meminta pendapatnya tentang rencana penjualan satelit Palapa B-1 yang sudah habis masa pakainya. Satelit ”rongsokan” itu sudah ditaksir sebuah perusahaan di Amerika seharga US$ 50,000. Mendapat informasi itu, otak bisnisnya bekerja. ”Ngapain dijual. Kita jalankan saja”, kata Adi. Maka terbentuklah PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) pada 1991. Modal awalnya, dari urunan Adi dan Prof Dr. Ir. Iskandar Alisyahbana untuk membeli Palapa B-1. Lantas titik orbit satelit digeser ke timur, sehingga mampu mencakup pulau-pulau kecil di Pasifik. Namanya berubah jadi satelit Pasifik 1. Adi pun mulai menyetir bisnis ini. Hingga berkembang, dari ”sekadar” mengoperasikan dan menyewakan Pasifik 1, PSN kemudian melangkah ke yang lebih besar jangkauannya. Bersama timnya di PSN, keahliannya di bisnis satelit dieksplorasi lebih intensif lagi dengan mendirikan ACeS pada 1994. Di situ, PSN memegang 35% saham dan menggandeng Lockheed Martin, Philippines Long Distance Global Telecommunications (PLDT) serta Jasmine International (Thailand) sebagai mitra.

Untuk mewujudkan ambisi menciptakan sistem telekomunikasi berbasis satelit dengan teknologi GSM (global system for mobile communication), ACeS juga masuk ke Bursa Nasdaq, New York. Dengan modal US$ 750 juta, meluncurlah Garuda 1 ke angkasa. Tak lama berselang, Byru meluncur pula ke pasar. Keberhasilan Garuda 1 membuat nama ACeS berkibar. Di Tanah Air, produk layanan PSN berkembang. Selain bermain di bisnis komunikasi satelit, PSN juga masuk ke bisnis multimedia dengan meluncurkan Multi Media Asia. Semuanya berbasis satelit. (A. Kukuh Karsadi)

Prof. Ir. Said D. Jenie, ScD (Aernautics) - Chief Designer and Technology IPTN
"Ia adalah seorang yang luar biasa di bidangnya," kata pakar dirgantara Adi Sadewo Salatun saat menyampaikan kesannya terhadap pakar aerodinamika, Prof Dr Said Djauharsjah Jenie, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang menghembuskan nafas terakhirnya pada Jumat pukul 07.48 WIB. Ilmu dan keahlian di bidang dinamika wahana antariksa berbadan besar yang elastis yang ditekuni Said adalah bidang yang sangat rumit dan disegani.

"Karyanya yang paling menonjol adalah N-250, pesawat pertama di dunia kelas two-engine, fly by wire (terkomputerisasi) dengan 50 penumpang, yang dirancangnya dari mulai disain hingga terbang," ujarnya.

Doktor lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat (AS) itu, menurut Salatun, bahkan tidak segan-segan turut terbang ke udara pada percobaannya. Saat itu, Said masih menjabat sebagai Direktur Teknologi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang kemudian menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI).

Salatun juga menyesalkan, maha karya tersebut terpaksa dihentikan setelah dibuat dua unit. Padahal, ia menilai, permintaan masyarakat dunia dan domestik untuk pesawat sekelas N-250 itu tinggi, apa lagi harganya bersaing.

Selain N-250, Said juga menjadi salah seorang tokoh untuk pesawat hasil kerjasama dengan Casa Spanyol, CN-235 yang kemudian sangat laku di pasar dunia, termasuk Angkatan Udara AS yang membeli 50 unit untuk versi Casa.

"Tidak ada orang Indonesia seahli dia, selain teorinya kuat, praktiknya pun kuat. Kita kehilangan putera terbaik di bidang kedirgantaraan yang banyak menyumbangkan keahliannya dalam soal pesawat dan roket," katanya.

Sementara itu, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), Kusmayanto Kadiman, berkomentar bahwa Said Djauharsjah Jenie adalah sosok yang sangat pendiam, namun akan menjadi sangat cerewet jika dipancing untuk bicara seluk-beluk teknologi dirgantara, baik mengenai sejarahnya sampai pada hal-hal yang futuristik.

Said juga memegang teguh nilai-nilai luhur dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) khususnya soal validitas, ujar Kusmayanto, sehingga ia tidak pernah terperangkap pada berita selentingan, rumor dan cerita isapan jempol.

"Sebagai insinyur, beliau selalu mengatakan bahwa jangan pernah mengaku insinyur, jika tak punya kemampuan dan pengalaman merancang karya teknologi, yang dia pegang teguh dan sungguh-sungguh diterapkannya di BPPT dan PT Dirgantara Indonesia," katanya.

Sebagai pengajar, Said yang wafat pada usia 58 itu sangat disiplin, dan terkenal sebagai orang yang mengajar sepenuh hati dengan menyampaikan teori-teori lengkap dengan contoh-contoh nyata sesuai pengalamannya, tambah Kusmayanto.

Said mengawali karirnya sebagai staf pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak 1974, hingga akhirnya menjadi Kepala Lab Ilmu-ilmu Fisika Terbang Jurusan Teknik Mesin ITB, dan menjadi Ketua Jurusan Teknik Penerbangan hingga Guru Besar ITB sampai akhir hayatnya.

Alumni ITB Jurusan Teknik Penerbangan sejak 1973 itu meneruskan kuliahnya ke perguruan tinggi bergengsi di MIT Jurusan Aeronautics and Astronautics yang mendapat gelar master pada 1978, dan kembali meneruskan studi di tempat yang sama di jurusan astrodynamics hingga lulus pada 1982 bergelar doktor.

Selama kuliahnya di AS, Said juga sempat menjadi asisten dosen dan menjadi asisten penelitian di universitas ternama itu, bahkan bersama MIT sempat bekerjasama dengan Badan Antariksa AS (NASA).

Pada masa mudanya itu, ia juga sempat menjadi peneliti di Divisi Riset Independen Charles Stark Draper Lab di AS, dan peneliti di universitas tekbik (TU) Delft, Belanda.

Said meski ditinggal wafat ayahnya sejak usia setahun, bersama Prof DR Umar Anggara Jenie, saudara kembarnya yang Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang lahir di Solo 22 Agustus 1950, dan dua saudaranya yang lain, tetap berprestasi.

Karir Said di luar dosen juga mengagumkan, dari mulai menjadi Kepala Program Uji Terbang Pengembangan dan Sertifikasi CN-235 di IPTN pada 1982 sampai menjadi Direktur Teknologi di IPTN pada 1999, juga menjadi Staf Ahli Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) sejak 1989, dan Instruktur Guidance and Control Program Roket Kendali di Pusat Teknologi Dirgantara Lembaga Antariksa Nasional (Lapan) sejak 1987.

Di BPPT, ia mengawali karir menjadi Kepala Tim Pengembangan Laboratorium Mekanika Terbang pada 1987 sampai menjadi pejabat tertinggi di badan tersebut sampai dengan tutup usia.

Said juga menjadi anggota dari berbagai organisasi nasional dan internasional, seperti Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), hingga Institut Aeronotika Astronautika Indonesia (IAAI).



Powerplants
Two 2439kW (3271shp) Allison AE 2100C turboprops driving six blade constant speed Dowty Rotol propellers.

Performance
N25050 - Max cruising speed 610km/h (330kt), economical cruising speed 555km/h (300kt). Initial rate of climb 1970ft/min. Service ceiling 25,000ft. Range with 50 passengers and standard fuel 1480km (800nm), range with 50 passengers and optional fuel 2040km (1100nm).

Weights
N25050 - Operating empty 13,665kg (30,125lb), max takeoff 22,000kg (48,500lb). N-250100 - Operating empty 15,700kg (34,612lb), max takeoff 24,800kg (54,675lb).

Dimensions
N25050 - Wing span 28.00m (91ft 11in), length 26.30m (86ft 4in), height 8.37m (27ft 6in). Wing area 65.0m2 (700sq ft). N-250100 - Same except length 28.12m (92ft 3in), height 8.78m (28ft 10in).

Capacity
Flightcrew of two. Typical accommodation in N25050 for 50 to 54. N250100 will seat up to 62 to 64 passengers at four abreast at 81cm (32in) pitch, 68 at 76cm (30in) pitch, or 60 at 81cm (32in) with optional extra cargo.

Production
At late 1998 firm orders stood at over 30.

Type
64/68 seat turboprop regional airliner

Selain itu, ia juga tercatat menjadi anggota Society of Flight Test Engineers (SFTE), American Institute of Aeronautics and Astronautics (AIAA), Planetary Society, dan Institute for Electrical and Electronics Engineer (IEEE) yang semuanya di AS.




Prof Dr. Mezak Arnold Ratag - Ahli Planetary Nebula Cluster dari Manado

Professor Mezak Arnold Ratag is one of the most brilliant astronomers in the world. The International Astronomical Union has hailed his work on planetary nebula — a glowing shell of gas and plasma that certain types of stars form when they die — as “a major step forward in science.” His name has been perpetuated in 120 planetary nebula clusters, including the Ratag-Ziljstra-Pottasch-Menzies and Ratag-Pottasch clusters, which he helped discover. He has also received an award of the highest distinction for chivalry for pioneering work in climate modeling. Prof. Ratag has also worked as the director of the Indonesian Bureau of Meteorology, Climatology and Geophysics, as well as a researcher in the National Space and Aeronautics Bureau. He argues that astrology does not have a scientific basis because of its inability to explain the cause-and-effect relationship required in scientific methodology

Prof Dr. Mezak Arnold Ratag dilahirkan di Malang pada tanggal 24 September 1962 sebagai anak ketiga dari Prof. Alexander Ratag dan Grietje Kawengian. Pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama diperolehnya di SD dan SMP Laboratorium IKIP Manado. Pada bulan Agustus 1980 ia terpilih sebagai Pelajar Teladan tingkat SLTA Provinsi Sulawesi Utara dan selanjutnya sebagai salah satu dari tiga Pelajar Teladan Nasional tahun 1980. Beberapa bulan sebelum kelulusannya di SMA Negeri 1 Manado pada bulan Juni 1981, melalui program seleksi Perintis II, ia dibebaskan dari ujian saringan masuk perguruan tinggi dan diterima sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB).

Setelah menyelesaikan keseluruhan program studi 9 semester dalam waktu kurang dari empat tahun dengan dibimbing oleh Prof. Bambang Hidayat, pada Oktober 1985 Mezak A. Ratag diwisuda sebagai Sarjana Astronomi dengan predikat cum laude. Universitas Kerajaan Belanda di Groningen, Rijksuniversiteit te Groningen membebaskannya dari keharusan untuk menempuh ujian doktoral (magister) dan memperbolehkannya langsung mengikuti program doktor pada tahun 1988. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Stuart Pottasch, Mezak Ratag memperoleh gelar doktor (summos honoris) pada bulan Juni 1991 dengan disertasi yang berjudul "A Study of Galactic Bulge Planetary Nebulae". Prof. Dr. Harm Habing dari Komisi Materi Antar Bintang IAU dalam komentar tertulisnya menyebut disertasi ini sebagai “a major step forward in science”. Laporan resmi Kapteyn Astronomical Institute memberi catatan tentang disertasi ini sebagai berikut: “It is the first time that a discussion of chemical composition in the bulge, taking into account planetary abundances, has been given. It may become a reference for some time to come”.

Mezak Ratag telah mempresentasikan dan mempublikasikan lebih dari seratus karya ilmiah nasional dan internasional. Lebih dari 100 buah planetary nebulae (PN) baru telah ditemukannya dan dipublikasikan bersama mitra kerjanya. Dalam katalog penemuan PN yang diterbitkan oleh Observatorium Strasbourg, sejumlah besar di antaranya diberi nama dengan namanya dan nama mitra kerjanya. Lebih dari 100 international citations tentang karya-karya ilmiahnya dapat dijumpai dalam berbagai jurnal, buku, dan prosiding internasional.

Ia menjadi anggota International Astronomical Union, UNEP-WMO IPCC Task Group on Climate Impact Assessment, Dutch Astronomical Society, Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), Himpunan Fisika Indonesia (HFI), dan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (Perhimpi). Beberapa kali ia duduk sebagai anggota Delegasi RI dalam rangka UN Framework Convention on Climate Change COP dan pertemuan-pertemuan APEC IST-WG.

Menjadi Ahli Peneliti Utama pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional yang diangkat dengan Keputusan Presiden RI sebagai Profesor Riset Astronomi & Astrofisika pada usia yang relatif sangat muda, baginya sebenarnya tidak enak sebab dia selalu tertantang untuk mencapai hal yang lebih baik dan lebih tinggi, padahal karier dan gelar yang diperolehnya sudah pada tingkat paling tinggi. Di Indonesia, gelar profesor biasanya dicapai rata-rata pada usia lima puluh sampai enam puluh tahun. Dan bagi pendidik dalam lingkup Lembaga Pemerintah Non-Departemen, gelar profesor ini selain diusulkan dan ditetap kan oleh lembaga tempat dia mengabdikan ilmunya, juga harus melalui Surat Keputusan (SK) Presiden RI.

Komentar

Postingan Populer