Pelacur; Masih Layakkah Disebut Sebagai Manusia?

Peneliti Pusat Penelitian HIV AIDS Unika Atma Jaya Jakarta, Ignatius Praptoraharjo mengatakan aturan tentang prostitusi sejak masa kolonial Belanda hingga saat ini mengkriminalkan para pekerja seks. Mereka dianggap sebagai penyebar penyakit menular, pengganggu ketertiban umum, manusia yang tidak beradab, dan tidak memiliki moral.

Pernyataan tersebut justru memancing tanya dalam benak, pelacur..masihkah mereka layak dikatakan memiliki moral dan beradab jika mereka demi mendapatkan uang dalam jumlah banyak dalam tempo singkat dengan cara yang terlarang ? Mengapa tidak mencari nafkah lainnya. Terus terang saya lebih menaruh hormat pada wanita yang ikhlas menjadi pembantu rumah tangga daripada pelacur secantik apapun dia.

Mau pakai alasan psikologis? Karena diperkosa? Karena dikecewakan pacar yang sudah menodai lalu meninggalkan dia kemudian dia jadi pelacur? Please deh.. Wanita itu mulia. Jika kita tersakiti lantas buat apa kita menyakiti diri lebih lama lagi? Cepat atau lambat melacur akan selalu membawa dampak kesehatan. Mengapa wanita tidak diijinkan poliandri dalam agama mana pun juga ? sebab dari segi kesehatan, organ reproduksi wanita berbeda dengan pria. Dalam berhubungan seks memerlukan organ reproduksi. Jika dalam tempo yang berdekatan wanita melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu laki-laki, wanita tersebut akan rentan terserang berbagai penyakit yang menular.

Pernahkah mereka (:para pelacur) sedih memikirkan perasaan seorang ibu rumah tangga yang tidak tahu menahu suaminya telah memakai jasa seks (:rasanya saya lebih suka tidak perlu memperhalus bahasa) mendadak tertular penyakit yang sulit disembuhkan ? Pernahkah mereka (:para pelacur – atau mungkin akan lebih cocok mengunakan kosa bahasa Jawa yang sangat menusuk “LONTE” merasa bersalah ketika seorang anak bayi terlahir dalam kondisi mengidap AIDS karena tertular dari ayahnya yang habis memakai jasa pelacur ?

Apakah saya marah pada pelacur sehinga tulisan ini begitu keras ? Ya, saya marah. Saya marah karena saya adalah wanita dan saya marah kepada mereka yang melacur.. yang tidak mampu menghargai kemuliaan mereka sebagai seorang wanita. Jangan beralasan karena desakan ekonomi. Kebutuhan sesungguhnya lahir dari buah pikiran kita sendiri. Cukup akan terasa cukup jika kita bersikap nrimo.

Saya banyak belajar dari pembantu saya. Meski dia kecewa karena pria yang menikahinya ternyata sudah berkeluarga, tapi toh dia tetap menghayati perannya sebagai seorang istri yang setia dan seorang ibu yang rela membanting tulang untuk membangun rumah bagi orang tua dan anaknya. Ia begitu ikhlas menerima nafkah dari suaminya Rp. 200.00 perbulan untuk biaya susu, sekolah, pakaian anak dari hasil pernikahannya. Padahal dia cantik, berkulit putih dan maaf seksi. Meski belum tergerak untuk mengenakan hijab, tapi setidaknya dia berkomentar “gila apa Bu, jadi pelacur..kayak ngga punya moral saja!” katanya.

Marahkah saya pada para petinggi negeri ini ? Kepada para aparat penegak hukum ? Ya..saya marah. Saya kecewa.. kecewa pada mereka yang rela membiarkan perut mereka, perut anak istri mereka isi dengan uang sogokkan dari germo-germo sehingga membiarkan bisnis pelacuran merajalela. Saya marah kepada orang yang memiliki modal, membangun gedung dan fasilitas kolam renang, spa yang menjadi kedok pelacuran. Mengapa modal tersebut tidak dipergunakan untuk bisnis yang lebih mengentaskan kemiskinan ? Mengapa mereka tidak tergerak mengalirkan uang mereka untuk modal berternak sapi, ayam petelur, dan usaha pertanian ? Alasannya tentu sangat klise.. keuntungannya kecil..

Tapi pernahkah mereka berpikir bahwa setiap manusia akan mengambil buah dari setiap perbuatannya sendiri ? Cepat atau lambat keuntungan yang mereka dapatkan dari bisnis haram akan menjadi api yang sangat besar yang akan membakar tubuh mereka tanpa berkesudahan di hari akhir nanti. 

Tidak percaya akan hari akhir ? Hehe.. silahkan.. Tapi saya percaya bahwa kelak ketika uang yang mereka dapatkan dari bisnis lendir (:begitu istilah yang kerap saya dengar dipergunakan) membakar tubuh mereka tiada henti.. tiada lagi jalan tuk kembali. Setidaknya saat ini, selama nafas masih berhembus mengapa tidak kita sudahi bisnis lendir di negeri ini? Selama pintu tobat masih terbuka dan selama masih ada hari depan yang lebih baik menanti. Percayalah pertolongan Sang Maha Kuasa akan senantiasa ada bagi orang yang berniat kembali padaNYA.

Oleh: Handrini Ardiyanti, Staf Bagian Pemberitaan + Redaksi Majalah Parlementaria DPR RI
Islampos

Komentar

Postingan Populer