Para Jenius dari Indonesia Yang Berkarya di Luar Negeri 1

Prof Nelson Tansu, PhD- Pakar Teknologi Nano
Pria kelahiran 20 Oktober 1977 ini adalah seorang jenius. Ia adalah pakar teknologi nano. Fokusnya adalah bidang eksperimen mengenai semikonduktor berstruktur nano.

Teknologi nano adalah kunci bagi perkembangan sains dan rekayasa masa depan. Inovasi-inovasi teknologi Amerika, yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari seluruh orang di dunia, bertopang pada anak anak muda brilian semacam Nelson. Nelson, misalnya, mampu memberdayakan sinar laser dengan listrik superhemat. Sementara sinar laser biasanya perlu listrik 100 watt, di tangannya cuma perlu 1,5 watt.

Penemuan-penemuannya bisa membuat lebih murah banyak hal. Tak mengherankan bila pada Mei lalu, di usia yang belum 32 tahun, Nelson diangkat sebagai profesor di Universitas Lehigh. Itu setelah ia memecahkan rekor menjadi asisten profesor termuda sepanjang sejarah pantai timur di Amerika. Ia menjadi asisten profesor pada usia 25 tahun, sementara sebelumnya, Linus Pauling, penerima Nobel Kimia pada 1954, menjadi asisten profesor pada usia 26 tahun. Mudah bagi anak muda semacam Nelson ini bila ingin menjadi warga negara Amerika.
Amerika pasti menyambutnya dengan tangan terbuka. "Apakah tragedi orang tuanya membikin Nelson benci terhadap Indonesia dan membuatnya ingin beralih kewarganegaraan?" "Tidak. Hati Saya tetap melekat dengan Indonesia," katanya kepada Tempo. Nelson bercerita, sampai kini ia getol merekrut mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan riset S-2 dan S-3 di Lehigh. Ia masih memiliki ambisi untuk balik ke Indonesia dan menjadikan universitas di Indonesia sebagai universitas papan atas di Asia.

Jawaban Nelson mengharukan. Nelson adalah aset kita. Ia tumbuh cemerlang tanpa perhatian negara sama sekali. Bila Koran Tempo kali ini menurunkan liputan khusus mengenai orang-orang seperti Nelson, itu karena koran ini melihat sesungguhnya kita cukup memiliki ilmuwan dan pekerja profesional yang berprestasi di luar negeri. Diaspora kita bukan hanya tenaga kerja Indonesia. Kita memiliki sejumlah Nelson lain—di Amerika, Eropa, dan Jepang. Orang orang yang sebetulnya, bila diperhatikan pemerintah, akan bisa memberikan sumbangan berarti bagi kemajuan Indonesia.

MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN: MERAH-PUTIH DI SAINT LOUIS


Matahari setengah rebah di Medari, Sleman, Yogyakarta. Asar sudah datang. Zakaria bergegas mencari anaknya, Muhammad Arief Budiman. Dia bisa berada di mana saja: di sawah, di kebun salak pondoh, atau—jika sedang beruntung—ia akan ditemukan di sekitar rumah. Zakaria harus menemukannya sebelum matahari terlalu rebah, agar anaknya tak melewatkan salat asar dan mengaji di musala.

Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat. Tiga puluh tahun kemudian....

Di sebuah ruang kerja di kompleks Orion Genomic, salah satu perusahaan riset bioteknologi terkemuka di negeri itu, seorang lelaki Jawa berwajah "dagadu"—sebab senyum tak pernah lepas dari bibirnya—kerap terlihat sedang salat. Dialah anak Zakaria itu. Pada mulanya bercita-cita menjadi pilot, lalu ingin jadi dokter karena harus berkacamata sewaktu SMP, anak pekerja pabrik tekstil GKBI itu sekarang menjadi motor riset utama di Orion. Jabatannya: Kepala Library Technologies Group. Menurut BusinessWeek, ia merupakan satu dari enam eksekutif kunci perusahaan genetika itu.

Genetika adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari gen, pembawa sifat pada makhluk hidup. Peran ilmu ini bakal makin sentral di masa depan: dalam peperangan melawan penyakit, rehabilitasi lingkungan, hingga menjawab kebutu*an pangan dunia.

Arief tak hanya terpandang di perusahaannya. Namanya juga moncer di antara sejawatnya di negara yang menjadi pusat pengembangan ilmu tersebut: menjadi anggota American Society for Plant Biologists dan—ini lebih bergengsi baginya karena ia ahli genetika tanaman—American Association for Cancer Research.

Asosiasi peneliti kanker bukan perkumpulan ilmuwan biasa. Dokter bertitel PhD pun belum tentu bisa "membeli" kartu anggota asosiasi ini. Agar seseorang bisa menjadi anggota asosiasi ini, ia harus aktif meneliti penyakit kanker pada manusia. Ia juga harus membawa surat rekomendasi dari profesor yang lebih dulu aktif dalam riset itu serta tahu persis riset dan kontribusi orang itu di bidang kanker. Arief mendapatkan kartu itu karena, "Meskipun latar belakang saya adalah peneliti genome tanaman, saya banyak melakukan riset genetika mengenai kanker manusia," ujarnya.

Kita pun seperti melihat sepenggal kecil sejarah Indonesia yang sedang diputar ulang. Pada akhir 1955, ahli genetika (dulu pemuliaan) tanaman kelahiran Jawa yang malang-melintang di Eropa dan Amerika, Joe Hin Tjio, dicatat dengan tinta emas dalam sejarah genetika karena temuannya tentang genetika manusia. Ia menemukan bahwa kromosom manusia berjumlah 46 buah—bukan 48 seperti keyakinan ahli genetika manusia di masa itu ("The Chromosome Number of Man. Jurnal Hereditas vol. 42: halaman 1-6, 1956). Tjio—lahir pada 1916, wafat pada 2001—bisa menghitung kromosom itu dengan tepat setelah ia menyempurnakan teknik pemisahan kromosom manusia pada preparat gelas yang dikembangkan Dr T.C. Hsu di Texas University, Amerika Serikat.

Prof Dr. KHOIRUL ANWAR: TERINSPIRASI KISAH FIRAUN


Bangkai burung, balsam gosok, dan kisah mumi Firaun. Siapa mengira tiga benda sepele itu ada gunanya. Tapi itulah trio yang “menghidupkan” pria kampung seperti Khoirul Anwar. Dia kini menjadi ilmuwan top di Jepang. Wong ndeso asal Dusun Jabon, Desa Juwet, Kecamatan Kunjang, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, itu memegang dua paten penting di bidang telekomunikasi. Dunia mengaguminya. Para ilmuwan dunia berkhidmat ketika pada paten pertamanya Khoirul, bersama koleganya, merombak pakem soal efisiensi alat komunikasi seperti telepon seluler.

Graduated from Electrical Engineering Department, Institut Teknologi Bandung (with cum laude honor) in 2000. Master and Doctoral degree is from Nara Institute of Science and Technology (NAIST) in 2005 and 2008, respectively. Dr. Anwar is a recipient of IEEE Best Student Paper award of IEEE Radio and Wireless Symposium (RWS) 2006, California, USA.
.

Prof Dr. Khoirul Anwar adalah pemilik paten sistem telekomunikasi 4G berbasis OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) adalah seorang Warga Negara Indonesia yang kini bekerja di Nara Institute of Science and Technology, Jepang.

Dia mengurangi daya transmisi pada orthogonal frequency division multiplexing. Hasilnya, kecepatan data yang dikirim bukan menurun seperti lazimnya, melainkan malah meningkat. “Kami mampu menurunkan power sampai 5dB=100 ribu kali lebih kecil dari yang diperlukan sebelumnya,” kata dia. Dunia memujinya. Khoirul juga mendapat penghargaan bidang Kontribusi Keilmuan Luar Negeri oleh Konsulat Jenderal RI Osaka pada 2007.

Pada paten kedua, lagi-lagi Khoirul menawarkan sesuatu yang tak lazim. Untuk mencapai kecepatan yang lebih tinggi, dia menghilangkan sama sekali guard interval (GI). “Itu mustahil dilakukan,” begitu kata teman-teman penelitinya. Tanpa interval atau jarak, frekuensi akan bertabrakan tak keruan. Persis seperti di kelas saat semua orang bicara kencang secara bersamaan.

Istilah ilmiahnya, terjadi interferensi yang luar biasa. Namun, dengan algoritma yang dikembangkan di laboratorium, Khoirul mampu menghilangkan interferensi tersebut dan mencapai performa (unjuk kerja) yang sama. “Bahkan lebih baik daripada sistem biasa dengan GI,” kata pria 31 tahun ini.

Dua penelitian istimewa itu mungkin tak lahir bila dulu Khoirul kecil tak terobsesi pada bangkai burung, balsam yang menusuk hidung, serta mumi Firaun. Bocah kecil itu begitu terinspirasi oleh kisah Firaun, yang badannya tetap utuh sampai sekarang. Dia pun ingin meniru melakukan teknologi “balsam” terhadap seekor burung kesayangannya yang telah mati. “Saya menggunakan balsam gosok yang ada di rumah,” kata anak kedua dari pasangan Sudjianto (almarhum) dengan Siti Patmi itu.

Khoirul berharap, dengan percobaannya itu, badan burung tersebut bisa awet dan mengeras. Dengan semangat, ia pun melumuri seluruh tubuh burung tersebut dengan balsam gosok. Sayangnya, hari demi hari berjalan, kata anak petani ini, “Teknologi balsam itu tidak pernah berhasil.” Penelitian yang gagal total itu rupanya meletikkan gairah meneliti yang luar biasa pada Khoirul. Itulah yang mengantarkan alumnus Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung tersebut kini menjadi asisten profesor di JAIST, Jepang. Dia mengajar mata kuliah dasar engineering, melakukan penelitian, dan membimbing mahasiswa. Saat ini Khoirul sedang menekuni dua topik penelitian yang dilakukan sendiri dan enam topik penelitian yang digarap bersama enam mahasiswanya.


ANDRIVO RUSYDI: KOKI TEKNOLOGI NANO ASAL PADANG
Hari-hari Andrivo Rusydi menetap di negeri sendiri hanya bisa dihitung dengan jari. Pemuda 33 tahun ini mesti wira wiri antarbenua sepanjang tahun untuk menjalani riset-risetnya di bidang teknologi nano. Ia memang salah satu dari sedikit anak bangsa negeri ini yang menguasai teknologi pengontrol skala atom dan molekul itu. Sebuah keahlian yang—terutama—banyak dibutu*kan di negara maju.

Maka negeri-negeri semacam Singapura, Amerika Serikat, Jerman, dan Kanada membuka lebar-lebar pintu riset bagi urang awak ini. Mari kita lihat jejak-jejak kejeniusannya, yang sudah diakui dunia internasional, itu. Saat ini Andri adalah peneliti tetap dan pengajar mata kuliah nanotechnology dan nanoscience di Universitas National Singapura (NUS). Di universitas ini pula ia mendapatkan gelar profesor pada usia 31 tahun. Sejak awal tahun ini, dia diangkat menjadi anggota Singapore International Graduate Award atau supervisi para doktor lulusan NUS.

Lalu, di Jerman, suami Sulistyaningsih ini menjadi profesor tamu pada Center for Free Electron Laser dan Institute for Applied Physics of University of Hamburg. Di sini, selain mengajar, Andri membimbing mahasiswa diploma sampai doktoral.

Penjelajahannya yang intensif di ranah teknologi nano juga membuat sulung dari empat bersaudara ini juga menjadi peneliti tamu di Departemen Fisika Universitas Illinois di Urbana, Amerika Serikat, dan Universitas British Columbia, Kanada.

Jejak akademisnya memang terpacak hingga ke berbagai pelosok dunia. Tak hanya itu, teknik riset yang ia kembangkan kemudian dimanfaatkan di berbagai negara, antara lain Amerika Serikat, Prancis, Korea, Jepang, Australia, Jerman, Kanada, dan Taiwan.

Dengan reputasi akademik internasional semacam itu, Andri tak ingin terlena. Dia ingin berbakti kepada tanah airnya untuk memajukan dunia ilmu di negeri ini. Caranya lewat kerja sama penelitian dan beasiswa tingkat doktoral dari dana-dana penelitian yang diperolehnya.

Dr Warsito P. Taruno
Belasan tahun belajar di luar negeri. Tanpa bantuan pemerintah, penelitian mereka berhasil di Tanah Air.

Robot itu bernama Sona CT x001. Di sebuah jendela ruko di perumahan Modernland, Tangerang, robot yang dibekali dua lengan itu sedang memindai tabung gas sepanjang 2 meter. Di bagian atas robot, layar laptop menampilkan grafik hasil pemindaian. Selasa dua pekan lalu itu, Sona—buatan Ctech Labs (Center for Tomography Research Laboratory) Edwar Technology—sedang diuji coba. Alat ini sudah dipesan PT Citra Nusa Gemilang, pemasok tabung gas bagi bus Transjakarta. “Di dalam ruko tidak ada tempat lagi untuk menyimpan Sona dan udaranya panas,” kata Dr Warsito P. Taruno, pendiri dan pemilik Edwar Technology.

Sona harus berada di ruangan yang suhunya di bawah 40 derajat Celsius. Perusahaan migas Petronas, kata Warsito, tertarik kepada alat buatannya. Kini mereka masih dalam tahap negosiasi harga dengan perusahaan raksasa milik pemerintah Malaysia tersebut. Selain Sona, Edwar Technology mendapat pesanan dari Departemen Energi Amerika Serikat. Nilai pesanan lumayan besar, US$ 1 juta atau sekitar Rp 10 miliar.

Bahkan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pun memakai teknologi pemindai atau Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) temuan Warsito. Lembaga ini mengembangkan sistem pemindai komponen dielektrik seperti embun yang menempel di dinding luar pesawat ulang-alik yang terbuat dari bahan keramik. Zat seperti itu bisa mengakibatkan kerusakan parah pada saat peluncuran karena perubahan suhu dan tekanan tinggi.

ECVT adalah satu-satunya teknologi yang mampu melakukan pemindaian dari dalam dinding ke luar dinding seperti pada pesawat ulang-alik. Teknologi ECVT bermula dari tugas akhir Warsito ketika menjadi mahasiswa S-1 di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia, Universitas Shizuoka, Jepang, tahun 1991. Ketika itu pria kelahiran Solo pada 1967 ini ingin membuat teknologi yang mampu “melihat” tembus dinding reaktor yang terbuat dari baja atau obyek yang opaque (tak tembus cahaya). Dia lantas melakukan riset di Laboratorium of Molecular Transport di bawah bimbingan Profesor Shigeo Uchida.

SONJA DAN SHANTI SUNGKONO: SI KEMBAR PENAKLUK BERLIN
Penampilan mereka memukau publik musisi klasik, dari Eropa hingga Amerika. Diganjar pelbagai penghargaan internasional bergengsi.

Suatu hari, di hadapan publik musik klasik Berlin, Jerman, penampilan duo pianis kembar Sonja dan Shanti Sungkono tampak eksotis. Di atas pentas, tubuh kedua perempuan berwajah Jawa ini dibalut kebaya dengan siluet brokat keperakan. Rambut mereka disanggul. Penampilan keduanya jauh dari penampilan panggung para musisi klasik yang konservatif—yang umumnya muncul dengan gaun panjang warna hitam.

Duet Sonja-Shanti tak sedang ingin tampil unik, apalagi nyentrik, dengan gaya tersebut. Model penampilan itu boleh dibilang telah menjadi ciri khas sekaligus identitas mereka sebagai perempuan Indonesia dalam pelbagai pentas di mancanegara. Selain penampilan, dalam setiap pertunjukan, keduanya selalu memperkenalkan diri sebagai duo pianis Indonesia. “Dari penampilan saja kelihatan, kami bukan orang Jerman,” kata keduanya, yang sejak 1991 bermukim di Berlin.

Toh, bukan lantaran penampilan itu yang membuat mereka memukau. Kepiawaian jari-jari mereka menari di atas tuts pianolah yang dikagumi penikmat musik klasik, baik di Jerman maupun di kota-kota besar lain di mancanegara.
Bahkan permainan Sonja-Shanti telah mencuri perhatian para musisi dan kritikus musik klasik Eropa. Di Jerman, penampilan mereka dipuji sebagai, “Benar-benar pertunjukan yang indah, mengagumkan, dan profesional.”

Prestasi mereka pun patut dibanggakan. Mereka meraih Jerry Coppola Prize dalam lomba duet piano di Miami, Amerika Serikat, pada 1999. Dua tahun berturutturut, 2001 dan 2002, mereka menyabet Prize Winners Juergen Sellheim Foundation di Hannover, Jerman. Lalu pada 2002 menjadi juara ketiga Torneo Internazionale di Musica di Italia. Terakhir, mereka menggondol Prize Winners pada National Piano Duo Competition di Saarbrucken, Jerman, pada 2003.

Album pertama mereka, Works for Two Pianos, dirilis pada 2002. Dua tahun berselang, Sonja-Shanti menelurkan album kedua bertajuk 20th Century Piano Duets Collection. Kedua album berformat CD itu di bawah label NCA Jerman. Peredaran album kedua lebih luas dari yang pertama.

Selain di Jerman, album tersebut beredar di Prancis, Italia, Austria, Swedia, Jepang, dan Amerika. Kedua album itu juga mendapat apresiasi yang cukup antusias dari sejumlah media musik klasik di Eropa. Selain itu, kedua album tersebut masuk arsip Perpustakaan Musik Naxos—produser musik klasik dunia yang menyimpan sekitar 36 ribu album.

ARI MUNANDAR: SATU-SATUNYA EXECUTIVE CHEF ASIA DI EROPA

Koki asal Korea Selatan itu berusia di kisaran 30 tahun dan bekerja di satu hotel di Praha. Suatu hari ia meminta bertemu dengan Ari Munandar, ahli masak kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, yang sekarang memimpin pasukan koki di Hotel Hilton Praque Old Town, Praha, Republik Cek.

Tanpa basa-basi ia mengatakan ingin direkrut dan bekerja di bawah Ari, yang jabatan resminya biasa disebut executive chef atau chef de cuisine. Mengapa? "Karena Anda satu-satunya executive chef dari Asia di Eropa," begitu Ari menirukan ucapan koki Korea Selatan itu kepada dirinya.

Executive chef merupakan jabatan sangat bergengsi, apalagi di jaringan hotel top seperti Hilton. Ari, yang baru berusia 37 tahun, sebelumnya tidak pernah berpikir ia satu-satunya executive chef asal Asia di hotel berbintang lima di Eropa. Tapi, setelah ia coba mencari tahu, ucapan koki Korea itu mungkin benar.

Tidak ada nama Asia—termasuk dari Jepang—yang menjadi executive chef di hotel prestisius di Eropa. "Kecuali di Amsterdam, mungkin," kata Ari. Di Amsterdam, ada beberapa koki top asal Indonesia. Wajar bila Ari menepuk dada. Lebih bangga lagi karena sekitar tiga bulan silam, saat mulai pindah ke Zinc di Hilton Praque Old Town, ia masuk berita di media massa setempat. Sebelum Ari masuk, Hilton memiliki restoran bernama Maze yang dikelola koki top yang bahkan sudah menjadi pesohor di Inggris,

Gordon Ramsay. Tiba-tiba saja Ramsay menarik Maze dari Hilton sehingga mereka meminta Ari pindah ke tempat mereka. Saat proses perpindahan Ari ke Hilton, tanpa diduga Maze—yang sudah akan ditutup—mendapat bintang Michelin. Anugerah ini penghargaan paling bergengsi dunia bagi sebuah rumah makan. Di Republik Cek, sebelum Maze, hanya ada satu rumah makan yang mendapat bintang Michelin, yakni di Hotel Four Seasons.

Tak mengherankan, media Republik Cek tertarik mendengar kabar ini. "Mereka penasaran," kata Ari, "seperti apa nantinya (restoran di Hilton Praque Old Town di bawah saya)." Publik Praha sesungguhnya tidak terlalu asing dengan Ari. "Saya sudah punya nama di sini," kata Ari. Ketenaran itu ia dapat saat selama tiga tahun sebelumnya menjadi executive chef di Mandarin Oriental Praha. Jabatan bergengsi di Mandarin Oriental didapat sesaat setelah ia mulai bekerja di sana pada 2006. Saat masuk ke Mandarin Oriental, ia menjadi sous chef de cuisine alias wakil kepala koki. Hanya dua bulan bekerja, executive chef tempat itu mengundurkan diri.

Yuli Purwanto


Di negeri orang, mereka menebarkan bela diri tradisional Indonesia itu dengan kegigihannya sendiri.

Bertopeng kingkong, Yuli Purwanto, 47 tahun, tangkas memainkan beberapa jurus pencak silat di panggung. Gerakannya lincah. Kadang terlihat lentur meliuk, acap kali berkelebat cepat. Diiringi iringan kendang nan rancak, penampilan pria yang akrab dipanggil Ipung ini memang memikat. Di puncak aksinya, Ipung kemudian menyurukkan wajahnya ke selembar batik yang dihamparkan di panggung, topengnya dilepas, lalu tampillah wajah aslinya dengan kain batik yang dibikinnya menjadi udheng.

Gerakan pencak silat Ipung itu bisa dinikmati pemirsa di mana pun lewat situs YouTube. Dari situs ini pula wawancara Ipung dalam bahasa Jepang dengan televisi pemerintah nasional Jepang, NHK, bisa diakses. Di tayangan ini Ipung menjawab segala hal soal silat. Jangan heran jika Ipung membicarakan silat dalam bahasa Jepang. Dia, bersama Soesilo Soedarmadji dari perguruan Perisai Diri dan Djaja dari Panglipur, adalah penyebar seni bela diri tradisional Indonesia itu di Jepang 13 tahun lalu. Ini tentu menjadi petualangan menarik bagi ketiganya. Maklum, negeri itu sudah punya tradisi bela diri sendiri yang berusia panjang, yakni karate, judo, kendo, aikido dan ju-jitsu.

Tantangan lain adalah adanya persoalan bahasa dan budaya yang berbeda. Tapi ketiga pendekar itu tak putus asa, apalagi dukungan moril dari Ikatan Pencak Silat Indonesia cukup kuat. Ini masih ditambah adanya dukungan dana dari Bimantara pada tiga tahun pertama. "Setelah itu, bergantung pada iuran peserta," kata Ipung. Penyebaran pencak silat di Jepang dimulai dari masyarakat Indonesia, sekolah-sekolah Indonesia, dan karyawan Departemen Luar Negeri. Penyebaran ke khalayak banyak dan penggemar bela diri dilakukan dengan cara memperbanyak pergelaran. Pergelaran-pergelaran itu rupanya cukup ampuh.

"Gerakan meliuk-liuk seperti tarian dalam kembangan diiringi musik tradisional Indonesia sangat menarik khalayak," kata Ipung. Untuk menarik praktisi bela diri, Ipung berduet dengan Soesilo menggelar pertunjukan di dojo (tempat latihan karate) dan pemusatan aikido serta bela diri setempat lainnya.

Tak disangka, "Mereka welcome," kata Ipung. Mereka tertarik justru karena gerakan silat yang lentur sekaligus kaya tipuan dan kuncian. Ini berbeda dengan bela diri Jepang, yang berkarakter kaku-keras. Melihat perkembangan menarik itu, televisi lokal, yakni NHK dan Fuji TV, kerap menayangkan olahraga silat. Silat juga ditampilkan di festival rutin yang digelar di kelurahan-kelurahan dan di masa liburan pada Juli-Agustus. Silat pun sudah masuk agenda rutin festival setempat. Ipung kini memiliki dua asisten pelatih Jepang, selain asisten pelatih Indonesia.

Sehat Sutardja, Ph.D - CEO dan Pendiri Marvell Technology Group

Sehat Sutardja, Ph.D, adalah CEO dan pendiri Marvell Technology Group dan menjadi presiden, pemimpin eksekutif sejak 1995. Ia juga menjadi presiden, pemimpin eksekutif, dan direktur pada perusahaan semikonduktor Marvell.

Ia dilahirkan di Jakarta, Indonesia. Sehat Sutardja menamatkan pendidikan menengahnya di Kolese Kanisius. Kemudian melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat dan meraih sarjana sains di teknik elektrik dari Universitas Negeri Iowa. Ia juga menjalani pendidikan pascasarjana Master of Science (M.Sc) dan Ph.D. dalam bidang teknik elektrik dan ilmu komputer dari Universitas California, Berkeley.

Ia menikahi Weili Dai, dan merupakan saudara dari Pantas Sutardja, yang juga turut mendirikan Marvell. Dia beserta istri dan adik termudanya, Patan adalah miliarder yang memiliki saham di Intel sebesar 22 persen. Marvell menguasai seluruh aset perusahaan Intel termasuk sumber daya manusianya. Sebagian besar pekerja dari sekitar 1400 orang tetap dipertahankan Marvell pada unit bisnis yang baru dibelinya dari Intel.

Karirnya dimulai dari tahun 1989 hingga 1995 ketika menduduki manajer dan pemimpin teknis proyek 8×8.

Marvell yang juga berpusat di Santa Clara, AS merupakan vendor chip dan komponen yang banyak dipakai di berbagai perangkat elektronika. Sedangkan unit bisnis yang dibeli dari Intel menghasilkan prosesor yang dibangun dari teknologi XScale Intel. Prosesor-prosesor berbasis XScale telah dipakai di banyak perangkat elektronika, misalnya Blackberry dan Treo.

Bisnis chip yang dikelola oleh Marvell secara nyata telah sukses menempati pangsa pasarnya sendiri dan tentunya sukses pula menghasilkan pundi-pundi uang bagi pembuatnya. Marvell telah mendominasi setiap pasar yang telah mereka pilih, keunggulan mereka adalah menawarkan produk berdesain superior dengan harga premium.

Produknya mampu mengalahkan pesaing mereka yaitu Texas Instruments dan Broadcom di pasar komunikasi seperti radio Wi-Fi dan Ethernet port. Chip besutan Marvell sangat mudah ditemukan pada Cisco switch, Apple iPod, Xbox 360 atau di dalam disk drive produk perusahaan besar lainnya. Dengan bekerjasama dengan Intel, Marvell nampak semakin hebat dan bisa mensejajari Qualcomm, Freescale Semiconductor dan TI.

Marvell terus berkembang setiap kuartalnya sejak penjualan saham mereka ke publik pada 2000 silam dan kini saham mereka meningkat hingga lima kali lipat.

Pada 2007, majalah Forbes memasukkan Sehat Sutardja sebagai salah satu orang terkaya di Amerika Serikat.

Saat ini, Marvell yang mempunyai 5,000 karyawan, mempunyai fasilitas riset dan disain di Aliso Viejo, Arizona, Colorado, Massachusetts, San Diego and Santa Clara. Di luar Amerika Serikat, Marvell juga mempunyai fasilitas riset dan disain di Jerman, India, Israel, Itali, Jepang, Singapore dan Taiwan.Marvell: 1 in 2 phones will soon be smartphones

NEW YORK, USA - Marvell Technology Group Ltd Chief Executive Sehat Sutardja said he expects multimedia-enabled smartphones to account for at least 50 percent of all cell phones in the next three to four years, and grow even more popular in the following years.

"Smartphones today are only addressing the tip of the pyramid," Sutardja told the Reuters Global Technology Summit in New York on Monday.

"I would say in the next three to four years, at least 50 percent of the market will move to smartphones," he said, adding that may grow to 90 percent in six to seven years.

Sutardja also said it was hard to tell if technology demand was recovering, noting it was hard to distinguish between temporary moves to replenish inventory and a real rebound in demand.--Reuters



JOHNY SETIAWAN, Ph.D - Penemu Planet Pertama dan Bintang Muda

Johny Setiawan membuat mata dunia tercengang dengan penemuan planet pertama yang mengelilingi bintang baru TW Hydrae.

PENEMUAN itu sangat spektakuler karena dari 270 planet di luar tata surya yang telah ditemukan astronom dalam 12 tahun terakhir, tak satu pun planet yang muncul dari bintang muda.

Johny yang memimpin tim peneliti di Max Planck Institute for Astronomy (MPIA), Heidelberg, Jerman itu menemukan planet pertama yang disebut TW Hydrae b dan bintang baru TW Hydrae dengan menggunakan teleskop spektrograf F EROS sepanjang 2,2 meter di La Silla Observatory, Chile.

”Ketika kami mengamati kecepatan lingkaran gas TW Hydrae, kami mendeteksi sebuah variasi periodik yang tidak berasal dari aktivitas TW Hydrae. Kami mengamati kehadiran sebuah planet baru (TW Hydrae b),” ungkap Johny kepada SINDO tadi malam. Planet baru yang ditemukan itu memiliki bobot sekitar sepuluh kali berat Planet Yupiter, planet terbesar dalam Sistem Tata Surya.

Planet baru itu mengorbiti TW Hydrae dalam waktu 3,56 hari dengan jarak sekitar 6 juta kilometer. Ini dapat disamakan dengan 4% jarak antara Matahari dan Bumi. Dengan penemuan tim yang dipimpin Johny tersebut, peneliti dapat membuat kesimpulan penting tentang waktu pembentukan planet.Sejumlah pertanyaan pelik yang selama ini dihadapi peneliti, seperti bagaimana dan di mana sistem planet terbentuk?

Bagaimana arsitektur planet? Seberapa lama proses pembentukannya? Bagaimana posisi planet-planet seperti bumi di Galaksi Bima Sakti? Akan segera terjawab. Johny menyadari pentingnya penemuannya tersebut. Dia menjelaskan, bagaimana planet yang baru berumur 8–10 juta tahun (sekitar 1/500 tahun umur Matahari) itu sebagai sebuah kejutan di Tahun Baru ini.

Peneliti lain dalam tim Johny menjelaskan bahwa pihaknya tidak salah menyimpulkan bahwa planet baru itu memang muncul. ”Untuk menghindari salah tafsir atas data, kami telah menginvestigasi seluruh aktivitas yang mengindikasikan TW Hydrae b. Tapi karakteristik planet baru ini sangat berbeda dari perputaran gas di lingkaran utama bintang baru itu. Mereka lebih stabil dan memiliki periode yang pendek,” papar Ralf Launhardt, koordinator program penelitian planet luar tata surya di sekeliling bintang-bintang muda.

Planet terbentuk dari gas dan debu dalam sebuah cakram yang berputar pendek setelah kelahiran sebuah bintang. Tidak keseluruhan proses terbentuknya planet baru ini dipahami pakar. Meski demikian, penemuan TW Hydrae b menyediakan teori baru tentang pembentukan planet.

Berdasarkan studi statistik, Johny memperkirakan rata-rata keadaan cakram gas dan debu itu akan membentuk planet dalam waktu maksimal 10–30 juta tahun. Johny menandaskan, penemuan TW Hydrae b merupakan bukti langsung bahwa pembentukan sebuah planet raksasa tidak bisa lebih lama dari usia bintang yang diorbitinya, 8–10 juta tahun.

”Ini merupakan penemuan paling luar biasa dan spektakuler dalam studi planet-planet di luar tata surya. Untuk pertama kali, kita telah menemukan langsung bahwa planet-planet terbentuk dalam lingkaran cakram. Penemuan TW Hydrae b membuka jalan untuk mengaitkan evaluasi lingkaran cakram dengan proses pembentukan dan migrasi planet,” papar Thomas Henning, direktur Planet and Star Formation Department di MPIA.

Johny memaparkan, peneliti di MPIA kini sedang mengembangkan peralatan generasi baru untuk mendeteksi planet-planet dengan teknik berbeda. Misalnya dengan instrumen baru astrometri untuk mengamati gerakan sebuah bintang saat melintasi planet di antariksa, serta transit fotometri untuk mengamati planet saat bergerak di depan bintang.

”Kita akan lebih memahami formasi planet saat kita mengetahui keanekaragaman sistem planet. Kita akan mampu menempatkan Sistem Tata Surya kita dalam sebuah konteks universal. Akhirnya, tentu di masa depan kita dapat menjawab pertanyaan: ’apakah kita sendirian di Semesta?” ungkap Johny yang baru tiba di Heidelberg setelah pekan lalu berlibur di Jakarta.

Johny merupakan warga Indonesia yang tinggal di Kota Heidelberg, Jerman. Sebagai seorang astronom yang sedang melakukan riset post doctoral, pria kelahiran 16 Agustus 1974 di Jakarta itu mengaku telah memiliki ketertarikan tentang perbintangan sejak kecil. Alumnus SD St.Fransiskus I dan SMP Immaculata, Marsudirini, itu kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Fons Vitae I, Marsudirini, Jakarta.

Setamat SMA, pada 1992–1993,Johny mengenyam pendidikan pra-universitas di Studienkolleg Heidelberg,Jerman. Johny kemudian mempelajari Fisika di Albert-Ludwigs-Universitat, Freiburg, Jerman, dan mengambil Master di Kiepenheuer-Institute for Solar Physics, Freiburg. Disertasinya di Kiepenheuer-Institute for Solar Physics, Freiburg, berjudul Radial velocity variation of G and K Giants.

Sejak Juni 2003, Johny bekerja sebagai peneliti post-doctoral di MPIA, di Department of Planet and Star Formation (Prof. Dr.Thomas Henning). Wilayah risetnya saat ini meliputi planet-planet di luar tata surya di sekitar bintangbintang muda dan bintang-bintang yang sedang terbentuk. Selain itu,Johny yang tinggal di Bintaro Sektor IX ini juga meneliti atmosfer yang berperan sebagai bintang.

”Secara khusus saya bekerja di sejumlah proyek seperti ESPRI (Pencarian Planet dengan PRIMA/ Phase-Referenced Imaging and Micro-arcsecond Astrometry). Di sini saya menyeleksi dan mengamati karakteristik bintangbintang untuk program pencarian planet,”ungkapnya. Sejak 2003, Johny memimpin penelitian di observasi bintang dan planet ESO La Silla. ”Kami telah sukses mendeteksi sejumlah planet yang saling berhubungan,” ungkap Johny yang memiliki kemampuan bahwa Jerman, Inggris, dan Spanyol.

Di tengah kesibukannya meneliti, Johny meluangkan waktu untuk menyalurkan sejumlah hobi yang beragam, mulai memasak, jalan-jalan, olahraga renang dan fitnes, melukis dengan akrilik, serta bermain piano.

Endri Rachman - Pencipta UAV Tamingsari dari Arcamanik Bandung


Tamingsari Vs Kujang

In Malay story, Tamangsari is Hang Tuah’s sacred weapon in the form of Kris which can fly looking for the target without the owner’s control. That name then become the name of an unmanned planed called unmanned Aerical Vehicle/UAV. Tamingsari is now a UAV identical made in Malaysia. Whereas in fact, UAV Tamingsari is purely made in Indonesia, even it’s made in Arcamanik, Bandung.

Like the famous Malaysia customs to claims others’ belonging, UAV which is developed by the former of IPTN worker Endri Rachman since 2000 and made in Arcamanik in 2004 is not missed from their claim. Let’s see the headline of Malaysian newspaper, The Star, 25 September 2005 which is provocative “Our Own Spy Plane Prototype”, strengthen that claim.

“Actually, I made the UAV Tamingsari, it’s made in Arcamanik. Fortunately, Tamingsari is still controlled manually using remote control, not using autopilot logic like I develop,” said Endri when meeting Kompas in his UAV plane factory in Arcamanik.

Malaysia

Hurt by Malaysia manner, Endri silently continues UAV development which is different to Tamingsari. It is UAV that follows autopilot logic flight because of software that he designed.

Now, ****ther with his colleagues in Globalindo Technology Services Indonesia (GTSI), he established a company made UAV with its office in Cihampelas Street, Bandung. He still completes his UAV flying ability.

In this company, run by four German, ITB, and IPTN technicians and 12 workers graduated from STM who work daily in plane factory in Arcamanik, born UAV named Kujang. Even though it can’t fly automatically like Tamingsari, Kujang is still Sundanese weapon with shape like crescent which is famous with its power.

Unfortunately, the first buyer for Kujang is a Malaysia research institution. In his own country, Endri with his developed UAV is no one!

“At least, when brought to Malaysia, the name is Kujang,” hoped Endri, who diasporas to the neighbor country as a lecturer after the agony of IPTN.

The glaring differences between Tamingsari and Kujang which both are made by Endri is on their work. Tamingsari is controlled by remote control so its exploration is limited because it has always seen by the eye sight. Miss a little from radio wave radius which is limited, it flies uncontrolled and never hopes it will come back.

Different from Kujang which is an unmanned smart plane, in the try out in Sulaeman airport, Bandung, Kujang has successfully follows automatically flight logic based on determined coordinate dots. Something that will never be done by Tamingsari!
Even though Endri admits that he’s irritated to Malaysian claim in his work result, he said that he is thankful to this country which has willingness to accommodate he and his family this long.

When going out of IPTN in 1998 Indonesia only gave him less than Rp. 1 million for his salary, Malaysia appreciates him Rp.15 millions a month plus house and vehicle as the lecturer’s facilities.
Freedom

The University, where he serves, is Universiti Sains Malaysia (USM), also gives freedom for using the complete aeronautical laboratory. In the USM Laboratory, Endri finds autopilot logic for UAV plane which he develops, and then he named it Kujang.
****ther with his friend, the IPTN refugees, Endri determines to still produce UAV in Indonesia even though they do it alone without the government help. [/indent][indent]Airplane factory in Arcamanik

What do you imagine if a home industry is not only making a motorcycle or car spare parts, but also making airplane spare parts? Not only making a component, but also the whole airplane!

This isn’t fantasy, but real. This airplane factory is in Indonesia, in Aero modeling 4, Arcamanik, in east Bandung, to be exact. It is at a yard of a citizen’s house. Maybe the west java governor or Bandung regent governor had never known the presence of this airplane home factory.” If they had known, of course there would have been a few attentions,” said Jaka Prahasta, the production head of PT Globalindo Technology Services Indonesia (GTSI), when we met in the factory, in the middle of December 2007.
Well this is not an ordinary airplane which transports the passengers, but the unmanned Aerial Vehicle (UAV) home industry. We can’t call it mini plane, because UAV has 3 meters wide wings, 2.6 meters length body, and 20 kilos weight, including the camera inside of it. Made by fiberglass made in the factory, UAV can fly on 1.000 meters height for 2 – 3 hours with the maximum speed 150 kilometers per hour.

It’s different from manual remote control plane, UAV which has 12 volt electrical power can fly autonomously because GPS navigation which is planted in its body. The remote control, two sticks with six lines, is only used when the plane is taking off or landing. The rest, it flies autonomously searching coordinate dots which are determined before it flies using free Google earth map.

UAV application is not only to stop on forest fire, search accident victim, monitor maritime traffic, search underground mineral, or monitor outpouring dots of Lapindo mud, but also, for example, it’s developed to be a spy plane.

At the citizen’s house which half of their yard become factory, is produced also teen of aero modeling types plane for sport and hobby, from helicopter to military plane made by 12 technicians graduated from STM (technical senior high School degree). The price for a plane starts from Rp.15 millions to Rp.25 millions. However, the main business, which is seriously made, is AUV.

When Kompas visits this airplane home industry, a UAV ordered by a Malaysian research institution had already made. On 24 December 2007, UAV, then named Kujang, had successfully followed flying test in Sulaeman Airport, Bandung. Kujang – one of the Sundanese weapons – flies for 30 minutes, has successfully followed the determined route without any radio control, until lands safely.

The logic Expanded

Who is the brain behind the born of this UAV, which is high technology, made in Arcamanik? He’s Endri Rachman, the refugee of PT. Industry Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) who has moved to Malaysia since eight years ago for improving his ability as a lecturer.
Kompas has still written this man, graduated from S2 of technical university of Brunswick, German, majoring in autopilot model when met one year ago. “I want to produce UAV with autopilot logic in Indonesia, Bandung for exact.” He said. (Kompas, 29/12/2006). Seems he proves his words.

Not nationalist? “It’s up to the people what they want to say. I am the citizen of Indonesia. If I’m not a nationalist, I won’t develop the plane factory in Arcamanik, but in Malaysia. The presence of this factory in order to make Malaysia doesn’t claim that UAV I developed is theirs,” said Endri when met in the office of UAV instruments development in an office house in Cihampelas Street, Bandung.

For bring his plan into reality, Endri with his colleagues IPTN alumnus establish PT GTSI with beginning capital, according to him, less than Rp.300 millions. In the second floor of this office house work airplane technicians who are mainly graduated from Bandung Technical Institute (ITB) and IPTN. There is Asep Permana, graduated from German and IPTN in business development. Widyawardana, graduated from electronic technical ITB in UAV avionic system development. There’s also Muhajirin, drawing manager who designs UAV shape. Endri himself is the chief director.

Why, with the capital that we can’t say big, Endri and friends bravely do the big step by establishing UAV factory in Indonesia? The answer is “the well known Name”, it’s the Endri’s name as the plane innovator which is sold well in Malaysia. Even the Malaysian people who ordered the first UAV bravely gave first payment 70 percent of the UAV price.

Widyawardana admits the engine is still imported from The USA. However, in the future, he said, PT. GTSI has already designed UAV engine. What is worked by the technicians in the second floor of the office house only to calculate, construct and develop the software and the hardware will be planted in the UAV. “We develop the logic. Therefore, if talking about software it isn’t just for the UAV. Commonly, it can be used in the other moving things, like unmanned submarine or even the guided missile which can’t be reached by eye sight,” he said.

“Technopreneur” Association

Asep and his colleagues at PT GTSI have a huge dream, gathering the IPTN alumnus who are now many of them scattered in business but not in the plane business, called the
“Technopreneur”. It’s not the social secret, after IPTN was shaky, in the same time; BJ Habibie finished his contribution in the government, the IPTN reliable technicians had scattered in many places.

Most of them run to the foreign country, like Endri went to Malaysia. There are also still defended in Indonesia. Asep mentions several names, such as Husin, a helicopter master, who is a west java DPRD member. There is also Lian Darmakusumah, the best graduate of France aeronautical, which is now a businessman. For bring this step into reality, PT GTSI exquisites a workshop that, in the past, only makes aero modeling plane. This controlled plane for hobby is still maintained. The decision to develop UAV isn’t wrong. Endri admits that he has already received a new order, also from Malaysia, for making the second Kujang.
Source: Kompas

Komentar

Postingan Populer