'Open Access', Ideologi Melawan Kapitalisme Ilmu

Aaron Swartz sebenarnya hanya ‘menegaskan kembali’. Telah lama, dunia ilmiah "dibajak" oleh kepentingan industri dan negara-negara kaya. Hasil-hasil riset, hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang, kendati sebetulnya menyangkut kepentingan umat manusia secara keseluruhan.

Para ilmuwan di negara berkembang telah lama mengeluh bahwa pekerjaan mereka tidak terlihat oleh para ilmuwan di Amerika Serikat dan Eropa. Di sisi lain, kebanyakan orang tidak mampu membayar biaya yang sangat mahal untuk bisa mengakses satu hasil penelitian ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal hard copy atau di balik tembok web berbayar. Atau meminjam istilah Carl Malamud, pendiri public.source.org, fenomena ini merupakan bentuk lain eksklusivitas di kalangan ilmuwan yang memagar diri dalam apa yang disebutnya dengan istilah sinis, members-only country club of knowledge.

Sungguh ironis -- dan disayangkan tentu saja -- bahwa beberapa negara yang mendukung kebebasan informasi juga mendukung undang-undang dan kebijakan yang mengotakkan pengetahuan ke ranah privat. Sialnya, beberapa negara yang semula tak mengadopsi paham ini, mulai mengekor.

Sebuah contohh menarik berupa sensus India 2011. Tidak seperti sensus sebelumnya, data dari sensus 2011 ini hak ciptanya sepenuhnya dimiliki pemerintah negeri itu. Membebaskan data berhak cipta tentu bukan perkara sederhana. Padahal isi sensus, tentu berguna untuk banyak pihak.

Atas nama pengembangan ilmu pengetahuan, banyak kalangan menilai, saatnya negara-negara berkembang juga memiliki akses lebih pada jurnal ilmiah. "Mereka perlu 'lapangan bermain' yang lebih terbuka. Telah lama mereka menangisi situasi ini," kata Alma Swan, salah satu direktur Key Perspectives Ltd, sebuah perusahaan konsultan untuk informasi ilmiah yang berbasis di Inggris.

Kondisi itu mendorong para ilmuwan dari Brazil, Cina, Ethiopia, India, dan Afrika Selatan untuk mendobrak. Mereka menetapkan pedoman bagi negara-negara berkembang untuk bebas mengakses penelitian yang didanai publik.

Pedoman tersebut disepakati pada lokakarya di Bangalore, India November tahun lalu, di mana 44 peserta internasional - termasuk para ilmuwan dan pembuat kebijakan - membahas cara-cara untuk mempromosikan akses terbuka.

Keberhasilannya tentu sangat tergantung pada apakah pemerintah, penyandang dana, dan lembaga penelitian mengadopsi rekomendasi itu.
(HENRY MAKOW)
Aaron Swartz dan ungkapan dalam Manifesto yang ditulisnya pada 2008
Open Access (OA), atau akses terbuka adalah ketersediaan secara online dan gratis dari konten digital, terutama peer-review artikel jurnal ilmiah dan akademis.

Secara lebih spesifik, OA merujuk kepada aneka literatur digital yang tersedia secara terpasang (online), gratis (free of charge), dan terbebas dari semua ikatan atau hambatan hak cipta atau lisensi. Artinya, ada sebuah penyedia yang meletakkan berbagai berkas, dan setiap berkas itu disediakan untuk siapa saja yang dapat mengakses.

Berdasarkan pengertian itu, maka OA otomatis juga membebaskan hambatan akses yang biasanya muncul karena biaya, entah itu biaya berlangganan, biaya lisensi, atau membayar biaya pay per view (ongkos per satu kali akses) bagi mereka yang enggan berlangganan.

Selain itu, OA juga menghilangkan hambatan yang timbul karena perizinan sebagaimana yang ada dalam setiap karya yang dilindungi hak cipta. Satu-satunya peranan hak cipta dalam bidang ini, seharusnya hanya dalam bentuk pemberian hak kepada penulis untuk menentukan integritas artikel yang ditulisnya dan pemberian penghargaan kepadanya dalam bentuk pengutipan.

Kini sejumlah negara berancang-ancang untuk membuka akses terbuka terhadap hasil penelitian. Yang terbaru adalah Inggris, yang akan menyediakan hasil penelitian yang didanai publik diakses secara terbuka dan gratis.

Tahun lalu, pemerintah Inggris mengungkap rencana kontroversial untuk membuat penelitian ilmiah yang didanai publik segera tersedia bagi siapa. Ini adalah perombakan yang paling radikal dari penerbitan akademis sejak penemuan internet di negeri itu.

Berdasar skema ini, "makalah penelitian yang pengerjaannya dibayar oleh pembayar pajak Inggris" akan tersedia gratis secara online untuk universitas, perusahaan, dan individu di manapun.
www.independentaustralia.net
Dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, Menteri Sains Inggris, David Willetts, menyatakan transformasi ini akan selesai dalam dua tahun. "Pada tahun 2014, semua sudah bisa diakses," katanya.

Langkah ini mencerminkan gelombang dukungan untuk akses terbuka di kalangan akademisi yang telah lama memprotes bahwa penerbit jurnal mendulang keuntungan besar dengan mengunci penelitian balik paywalls online. "Jika wajib pajak telah membayar untuk penelitian i, maka hasil penelitian tidak boleh diletakkan di belakang paywall sebelum warga negara Inggris dapat membacanya," kata Willetts.

Ia mengatakan akan ada manfaat ekonomi yang tak sedikit dengan langkah ini. Universitas Inggris sekarang membayar sekitar 200 juta pundsterling, atau setara Rp 3 triliun setahun untuk biaya berlangganan jurnal ilmiah.

Ketegangan antara akademisi dan perusahaan penerbitan jurnal ilmiah meningkat dalam beberapa tahun ini. Lebih dari 12 ribu akademisi di Inggris memboikot penerbit Elsevier Belanda, dalam bagian dari kampanye yang lebih luas terhadap industri yang telah disebut "semi akademis".

Jauh sebelum itu, Cina sudah memulai. Lebih dari 80 persen dari data yang berhubungan dengan penelitian ilmu murni - seperti matematika teoritis, fisika dan kimia - akan tersedia secara bebas di Internet. Penegasan itu pertama kali disampaikan Xu Guanhua, menteri Sains dan Teknologi Cina, pada Konferensi Internasional Komite Data untuk Sains dan Teknologi (CODATA), tahun 2006.

Dalam rangka mencapai tujuan ini, Cina membangun 40 pusat data ilmiah pada tahun 2010, dengan 300 database yang berkaitan dengan lingkungan, pertanian, kesehatan manusia, ilmu teknik, murni dan informasi ilmiah dan teknologi regional. Semuanya akan terbuka dan bebas diakses melalui portal publik yang diprakarsai oleh Departemen Ilmu dan Teknologi.

Cina memang mulai melakukan investasi besar-besaran untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam beberapa tahun terakhir. Belanja untuk keperluan ini naik 19,25 persen menjadi 71,6 miliar yuan (8,95 miliar dolar AS) tahun ini, tingkat pertumbuhan tertinggi sejak reformasi Deng Xiaoping.

Tanah kelahiran Aaron Swartz sekaligus negara yang membuatnya frustrasi, Amerika Serikat, terkenal paling matre untuk urusan berbagi akses pada hasil penelitian. Toh negara ini juga mulai membuka diri.

Sebenarnya, rintisannya mulai dilakukan sekitar satu dekade lalu, ketika sekelompok ilmuwan mulai mempublikasikan penelitian peer-review secara gratis melalui internet, yang dilakukan setelah Budapest Open Access Initiative pada tahun 2002.

Gerakan ini terus mendapatkan dukungan luas, kata Heather Joseph, direktur eksekutif Scholarly Publishing and Academic Resources Coalition, yang bekerja untuk memperluas akses masyarakat terhadap hasil penelitian ilmiah.

Puncaknya, pada tahun 2005, National Institutes of Health (NIH) mengadopsi kebijakan akses terbuka. Hampir 2,5 juta artikel yang selama ini dipagari dalam database NIH dibuka untuk umum dan gratis.

Lebih dari 700 ribu orang mengakses PubMedCentral, portal yang menyediakan informasi hasil penelitian, setiap hari. Namun NIH hingga kini masih merupakan satu-satunya lembaga federal yang membuka akses itu.

Para aktivis terus mendorong undang-undang yang akan membuat lembaga ilmu pengetahuan federal lainnya mengikuti apa yang dilakukan NIH. Tapi di sisi berlawanan, penerbit komersial dan nirlaba, masyarakat profesional, dan akademisi banyak berupaya menyodorkan RUU mereka sendiri untuk mengembalikan lagii akses terbuka di NIH seperti semula.
storify.com
Mereka berpendapat bahwa membuat semua penelitian ilmiah tersedia secara bebas akan merusak sistem yang berabad-abad dijaga dan mengantarkan perusahaan publikasi review dan jurnal akademis ke jurang kebangkrutan.

Salah satu pkendukung kelompok ini, Rob Weir, pengajar sejarah di Smith College di Massachusetts, yang juga associate editor pada sebuah jurnal kecil, mengatakan Swartz mengabaikan bahaya tersembunyi di balik upaya membuka akses terbuka terhadap hasil penelitian.

"Saya turut berduka Swartz meninggal," Weir menulis dalam sebuah esai. "Namun saya menegaskan, bagaimanapun, meski ia layak mendapat label pahlawan atas apa yang dia lakukan, di mata saya dia tetap peretas. Tidak peduli seberapa berprinsip seorang hacker, mereka adalah tetap pencuri."

Namun pendukung Swartz meradang pemuda 26 tahun ini dicap sebagai pencuri. Aktivis maya mengatakan Swartz mengambil risiko pribadi untuk membuka arsip besar dunia ilmu pengetahuan, lalu membuat akses data dalam jumlah besar yang selama ini dibatasi -- dan karenanya mereka melabeli Swartz sebagai martir untuk dunia ilmu pengetahuan yang lebih baik.

Seperti yang pernah ditulisnya, "Kita perlu mengambil informasi, di mana pun itu disimpan, membuat salinan, dan membaginya dengan dunia."

Sementara diskursus perlu atau tidaknya dibuka akses seluas-luasnya pada penelitian ilmiah masih panjang, Swartz memilih memperpendeknya: menjemput ajalnya sendiri.
 AP PHOTO
Datang dari seluruh penjuru Silicon Valley, mereka memenuhi bangku gereja tua untuk memberikan penghormatan kepada Aaron Swartz, di hari jazadnya diantar ke pemakaman. Mereka yang tak mendapat tempat duduk, rela berdiri bahkan hingga di pelataran gereja.

"Kami datang bukan untuk berkabung. Kami datang untuk meneruskan perjuangannya," ujar salah seorang dari mereka.

Di gereja yang telah dialihfungsikan sebagai markas Internet Archive, sebuah kelompok nirlaba yang didirikan para penggiat internet AS, suasana tampak lebih seperti "rapat umum" aktivis maya ketimbang perkabungan dalam suasana duka.

"Dia bukanlah penjahat. Dia adalah seorang warga negara dan seorang prajurit pemberani dalam perang yang terus berlangsung sampai sekarang, perang di mana para pencatut dan koruptor informasi mencoba untuk mencuri dan menimbun sementara yang lain dahaga dan kelaparan hanya demi untuk keuntungan pribadi mereka sendiri," kata Carl Malamud, teknolog dan advokat vokal untuk akses terbuka terhadap informasi.

Yang tak bisa hadir, mengirimkan kawat duka melalui surat elektronik. "Kematian Aaron Swartz adalah kerugian bagi seluruh umat manusia," tulis Jacob Applebaum, seorang hacker terkenal, melalui pesan email.

Dia adalah seorang "jenius Web," tulis Lawrence Lessig, profesor hukum di Harvard Law School dan direktur Edmond J. Safra Center for Ethics di Harvard University. “Dunia kehilangan dia.”

Akademisi yang mendukung gerakannya, aktif memposting penelitian mereka secara online dan membebaskan siapa saja untuk melihat dan bahkan mengunduhnya. Beberapa perguruan tinggi ternama di AS juga mulai membuka akses gratis bagi penelitian mereka.

"Saya pikir banyak orang yang akan terinspirasi oleh Aaron untuk bertindak," kata Peter Eckersley, ditektur Electronic Frontier Foundation yang juga mantan teman sekamar Swartz.

Perang perebutan akses terbuka telah berkecamuk selama bertahun-tahun, dan kematian Swartz alih-alih memberangus, malah bak menyiram bensin dalam bara.

Pertempuran bahkan akan lebih panas, seorang aktivis mengatakan. "Kematian Aaron justru akan meradikalkan gerakan kami," kata Taren Stinebrickner-Kauffman, programer yang juga kekasih Swartz, seolah bersumpah. Slogan Swartz bahwa informasi harus dibebaskan dari cengkeraman para pemikir korup yang haus uang, menggema sepanjang acara.

Komentar

Postingan Populer