Software dan Kemerdekaan Pengguna
Apakah menggunakan Linux itu menyeramkan? Pertanyaan ini wajar. Sebab informasi yang beredar di luar sana seseorang mesti tahu semua bahasa perintah dan mengetikkan simbol-simbol 'aneh' ke kotak hitam untuk bisa menjalankan sistem operasi berbasis open source ini.
Namun bagi Asalin Siregar, 36, tahun, seorang jurnalis berbasis di Jakarta, Linux adalah OS andalannya. "Susah? Wah nggak tuh, asyik-asyik saja," ungkap Asalin membagi pengalamannya. Wajib dicatat, dia bukan jebolan teknik komputer. Bekalnya hanya otak-atik dan kemauan membaca. Plus jika kepentok, ia tak segan mencari informasi di internet.
Ia mengaku sudah mengoprek Linux sejak 2008 dan hingga kini ia sudah bergonta-ganti beberapa tipe. Distro pertama yang menghuni laptop andalannya adalah Mandriva, versi lanjutan dari Mandrake, salah satu dari anak cabang distro Red Hat. Tak puas karena menilai Mandriva kurang ‘cekatan’ dan kurang responsif ia pun beralih ke Open Susse tiga tahun kemudian.
Open Susse yang terkenal dengan lambang kodok hijau itu pun masih belum cukup membuat Asalin nyaman . “Masih terlalu ribet, kurang simpel,” ungkapnya menuturkan alasan mengganti Linux ‘Kodok Hijau’ yang sempat mendekam hampir setahun di komputer jinjingnya.
Setelah itu ia meloncat ke Ubuntu. Distro ini nyaris membuat Asalin tak ingin beralih lagi. Hingga suatu saat ia mengunduh paket pemutakhiran yang membuat tampilan dan sistem manajemen dekstop tak lagi 'berasa' Linux.
Lagi-lagi Asalin bermigrasi menuju Ubuntu Mint yang berbasis Debian, hingga akhirnya ia memutuskan menggunakan Debian orisinal, versi yang ia sebut ‘kakek para distro’.
"Saya sempat ngeper karena orang-orang di luar sana menggambarkan Debian sangat seram, bila bukan pakar bakal kesulitan menggunakan OS ini."
Maklum Debian kerap digunakan sebagai OS kelas server, bukan komputer dekstop atau komputer personal rumahan. Tujuannya memang untuk mengakomodasi tingkat kerumitan eksekusi program yang dibutuhkan superkomputer.
Ketika memakai Debian, Asalin mengaku juga tidak banyak pakai kotak terminal (gambar samping). "Malah sering poin dan klik seperti Windows,” ujarnya terkekeh. Istilah poin klik adalah sebutan jamak operasi ala Windows Microsoft.
Tak seperti Linux, Windows tidak menyediakan kotak terminal untuk menginput perintah-perintah eksekusi, melainkan telah menyediakan semua untuk pengguna demi alasan kemudahan. Alhasil pemilik komputer dengan sistem operasi Windows cenderung lebih sering menggunakan mouse untuk menunjuk dan mengklik tombol virtual bila ingin melakukan input perintah.
Sementara Linux dan kotak terminal adalah dua entitas tak terpisahkan. Saat ingin mematikan komputer dengan OS Ubuntu misal, pengguna bisa tak perlu mengangkat jari dari papan ketik berkat kotak terminal.
Mereka cukup menekan Ctr+Alt+T untuk membuka Terminal, lalu mengetikan perintah sudo su, pada baris input perintah dan enter, berikutnya memasukkan kata sandi plus enter untuk mengakses root (password tak pernah tampil di layar namun terbaca), lalu saat muncul baris lain perintah halt dimasukkan dan komputer pun segera mematikan diri.
Urutannya seperti ini
:~$ sudo su
:
:halt
Sedangkan proses di Mandriva bahkan lebih sederhana lagi. Saat membuka kotak terminal, pengguna cukup mengetikkan
: # shutdown -h now
Bagi yang tak terbiasa, kotak terminal hitam tempat memasukkan input-input perintah tadi terlihat menyeramkan. Padahal bagi yang terbiasa mengetik, mematikan komputer bisa dilakukan lewat terminal tanpa sekalipun menyentuh mouse, jauh lebih cepat ketimbang poin-klik ala Windows. Itu pula satu alasan mengapa Asalin kepincut dengan Linux.
"Software ini sesuai dengan saya dan membebaskan karena saya tipe yang lebih suka mengetik ketimbang menggunakan mouse. Ada jeda berpikir ketika tangan saya beralih dari keyboard menuju mouse, dan saya tidak suka itu ” ungkapnya.
Saat membuka aplikasi lain ia pun dengan mudah menekan tombol-tombol short cut yang sudat diaturnya karena fasilitas itu memang tersedia di Linux.
Aspek lain yang dicintai pengguna Linux terutama loyalis sistem operasi (OS) berbasis open source adalah kecepatan kinerja dan sistem yang tidak memberatkan. Bahkan sering dijumpai komputer zaman baheula yang menggunakan disket tipis lebar masih bisa mengoperasikan Linux. Sementara Windows? Jangan tanya.
Bila dicermati, sistem operasi besutan Microsoft itu kian ‘rewel’ dengan menuntut kebutuhan perangkat lunak lebih canggih begitu perusahaan merilis versi terbaru
Sebagai gambaran perbandingan kebutuhan perangkat lunak dengan OS open source, misal Linux 2.2 dan 2.4, pengguna cukup menggunakan CPU 800 MHz. Memori RAM sebesar 256 MB dan ruang hard disk tempat bernaung software OS sebesar 20 MB sudah bisa membuat Linux berjalan mulus. Setelah itu sediakan ruang penyimpanan data sebesar 500 MB atau 1 GB.
Versi terbaru Ubuntu Dekstop Edition keluaran 2012, juga tidak neko-neko. Cukup sediakan cip berdaya 700 MHz kelas intel Celeron atau lebih, sistem memori RAM 512 MB, ruang penyimpanan data 5 GB atau bahkan stik USB, kartu memori atau hard disk eksternal.
Resolusi pun tak perlu kelas wahid, cukup VGA yang mampu mengatasi layar 1024 x768. Meski untuk keperluan penginstalan, pengguna masih membutukan CD/DVD drive atau port USB, tapi bukankah fitur itu semua sudah tersedia dalam komputer masa kini?
Sedangkan bila dibandingkan dengan Windows? Dulu untuk kebutuhan Windows XP Service Pack 3 yang terbaru pengguna cukup menyediakan ruang kerja dalam hard disk sebesar 280 MB, dan 480 MB untuk file-file , kemudian ruang perangkat keras 1485 MB atau 1,5 GB saat instalasi. Penting disinggung, semua OS Linux dan --untungnya--Windows XP masih menggunakan komputer arsitektur 32 bit.
Sekarang mari bandingkan dengan OS terbaru Microsoft, Windows 8. Kebutuhan minimum perangkat keras untuk bisa mulus menggunakan sistem operasi ini adalah prosesor berdaya 1 GHz dalam komputer berasitektur 32 bit (IA-32) atau 64 bit (x64). Namun yang direkomendasikan adalah komputer berasitektur 64 bit.
Lalu untuk memori, pengguna wajib menyediakan RAM sebesar 1GB untuk IA-32 dan 2 GB untuk edisi x64. Sementara yang direkomendasikan untuk bisa berjalan tanpa tersendat yakni RAM berkapasitas 4 GB.
Kemudian masuk kartu grafis, Windows 8 butuh kartu sekelas DirectX 9 WDDM 1.0 sedangkan yang direkomendasikan yakni kartu DirectX 10. Satu yang perlu ditekankan di sini mana-mana salah satu bagian internal yang bikin harga melangit selain cip prosesor adalah kartu memori grafis. Semakin oke kinerja kartu grafis maka semakin dalam kantong yang harus dirogoh.
Soal layar juga ada tuntutan besar meski kebutuhan minimum mencukupkan di angka 1024x768 piksel namun yang dianjurkan yakni 1366×768 piksel. Lalu untuk ruang penyimpanan hard disk sekurang-kurangnya 16 GB untuk IA-32 dan 20 GB untuk arsitektur x64.
Semua spefisikasi tadi membuat harga satu unit laptop yang dipasangi Windows 8 dan tetap ngebut mulus jadi selangit. Alasannya, mereka cenderung mengusung spesifikasi di atas kebutuhan minimum. Jangan heran bila laptop Windows 8 rata-rata hampir menyentuh angka 10 juta atau bahkan tembus hingga belasan juta.
"Terus terang saya tetap bisa menggunakan laptop lama yang saya beli pada 2009 seharga 5 jutaan dan tetap oke. Tak perlu mahal,” kata Asalin. Tuntutan Linux itulah yang membuat pengguna bebas pula menentukan perangkat keras seperti apa yang mereka butuhkan.
Meski pengguna Linux, Asalin juga menginstal Windows dalam laptopnya. Komputer dengan dua OS macam milik Asalin jamak disebut dual boot system. "Tapi saya beli asli yang berlisensi, bukan bajakan,"tegasnya. Meski, sebagian besar penggunaan hanya untuk main game, selebihnya ia memilih bekerja dalam lingkungan Linux.
Gnome
Bagaimana dengan soal tampilan di komputer, Linux tak sebagus Windows? Nanti dulu.
Pengembang Linux bukan hanya orang yang sekadar gemar mengoprek. Di balik software ini ada pula para guru dan wizard--julukan pakar kelas wahid di dunia IT--yang menjunjung tinggi filosofi kebebasan dalam software. Mereka kadang juga seorang hacker.
(Tema dekstop Ubuntu versi Gnome)
Jadi jangan heran bila tampilan dekstop Linux pun tak kalah kinclong dengan kompetitornya keluaran Microsoft maupun Apple, begitu pula kinerjanya.
Namun bagi Asalin Siregar, 36, tahun, seorang jurnalis berbasis di Jakarta, Linux adalah OS andalannya. "Susah? Wah nggak tuh, asyik-asyik saja," ungkap Asalin membagi pengalamannya. Wajib dicatat, dia bukan jebolan teknik komputer. Bekalnya hanya otak-atik dan kemauan membaca. Plus jika kepentok, ia tak segan mencari informasi di internet.
Ia mengaku sudah mengoprek Linux sejak 2008 dan hingga kini ia sudah bergonta-ganti beberapa tipe. Distro pertama yang menghuni laptop andalannya adalah Mandriva, versi lanjutan dari Mandrake, salah satu dari anak cabang distro Red Hat. Tak puas karena menilai Mandriva kurang ‘cekatan’ dan kurang responsif ia pun beralih ke Open Susse tiga tahun kemudian.
Open Susse yang terkenal dengan lambang kodok hijau itu pun masih belum cukup membuat Asalin nyaman . “Masih terlalu ribet, kurang simpel,” ungkapnya menuturkan alasan mengganti Linux ‘Kodok Hijau’ yang sempat mendekam hampir setahun di komputer jinjingnya.
Setelah itu ia meloncat ke Ubuntu. Distro ini nyaris membuat Asalin tak ingin beralih lagi. Hingga suatu saat ia mengunduh paket pemutakhiran yang membuat tampilan dan sistem manajemen dekstop tak lagi 'berasa' Linux.
Lagi-lagi Asalin bermigrasi menuju Ubuntu Mint yang berbasis Debian, hingga akhirnya ia memutuskan menggunakan Debian orisinal, versi yang ia sebut ‘kakek para distro’.
"Saya sempat ngeper karena orang-orang di luar sana menggambarkan Debian sangat seram, bila bukan pakar bakal kesulitan menggunakan OS ini."
Maklum Debian kerap digunakan sebagai OS kelas server, bukan komputer dekstop atau komputer personal rumahan. Tujuannya memang untuk mengakomodasi tingkat kerumitan eksekusi program yang dibutuhkan superkomputer.
Ketika memakai Debian, Asalin mengaku juga tidak banyak pakai kotak terminal (gambar samping). "Malah sering poin dan klik seperti Windows,” ujarnya terkekeh. Istilah poin klik adalah sebutan jamak operasi ala Windows Microsoft.
Tak seperti Linux, Windows tidak menyediakan kotak terminal untuk menginput perintah-perintah eksekusi, melainkan telah menyediakan semua untuk pengguna demi alasan kemudahan. Alhasil pemilik komputer dengan sistem operasi Windows cenderung lebih sering menggunakan mouse untuk menunjuk dan mengklik tombol virtual bila ingin melakukan input perintah.
Sementara Linux dan kotak terminal adalah dua entitas tak terpisahkan. Saat ingin mematikan komputer dengan OS Ubuntu misal, pengguna bisa tak perlu mengangkat jari dari papan ketik berkat kotak terminal.
Mereka cukup menekan Ctr+Alt+T untuk membuka Terminal, lalu mengetikan perintah sudo su, pada baris input perintah dan enter, berikutnya memasukkan kata sandi plus enter untuk mengakses root (password tak pernah tampil di layar namun terbaca), lalu saat muncul baris lain perintah halt dimasukkan dan komputer pun segera mematikan diri.
Urutannya seperti ini
:~$ sudo su
:
:halt
Sedangkan proses di Mandriva bahkan lebih sederhana lagi. Saat membuka kotak terminal, pengguna cukup mengetikkan
: # shutdown -h now
Bagi yang tak terbiasa, kotak terminal hitam tempat memasukkan input-input perintah tadi terlihat menyeramkan. Padahal bagi yang terbiasa mengetik, mematikan komputer bisa dilakukan lewat terminal tanpa sekalipun menyentuh mouse, jauh lebih cepat ketimbang poin-klik ala Windows. Itu pula satu alasan mengapa Asalin kepincut dengan Linux.
"Software ini sesuai dengan saya dan membebaskan karena saya tipe yang lebih suka mengetik ketimbang menggunakan mouse. Ada jeda berpikir ketika tangan saya beralih dari keyboard menuju mouse, dan saya tidak suka itu ” ungkapnya.
Saat membuka aplikasi lain ia pun dengan mudah menekan tombol-tombol short cut yang sudat diaturnya karena fasilitas itu memang tersedia di Linux.
Aspek lain yang dicintai pengguna Linux terutama loyalis sistem operasi (OS) berbasis open source adalah kecepatan kinerja dan sistem yang tidak memberatkan. Bahkan sering dijumpai komputer zaman baheula yang menggunakan disket tipis lebar masih bisa mengoperasikan Linux. Sementara Windows? Jangan tanya.
Bila dicermati, sistem operasi besutan Microsoft itu kian ‘rewel’ dengan menuntut kebutuhan perangkat lunak lebih canggih begitu perusahaan merilis versi terbaru
Sebagai gambaran perbandingan kebutuhan perangkat lunak dengan OS open source, misal Linux 2.2 dan 2.4, pengguna cukup menggunakan CPU 800 MHz. Memori RAM sebesar 256 MB dan ruang hard disk tempat bernaung software OS sebesar 20 MB sudah bisa membuat Linux berjalan mulus. Setelah itu sediakan ruang penyimpanan data sebesar 500 MB atau 1 GB.
Versi terbaru Ubuntu Dekstop Edition keluaran 2012, juga tidak neko-neko. Cukup sediakan cip berdaya 700 MHz kelas intel Celeron atau lebih, sistem memori RAM 512 MB, ruang penyimpanan data 5 GB atau bahkan stik USB, kartu memori atau hard disk eksternal.
Resolusi pun tak perlu kelas wahid, cukup VGA yang mampu mengatasi layar 1024 x768. Meski untuk keperluan penginstalan, pengguna masih membutukan CD/DVD drive atau port USB, tapi bukankah fitur itu semua sudah tersedia dalam komputer masa kini?
Sedangkan bila dibandingkan dengan Windows? Dulu untuk kebutuhan Windows XP Service Pack 3 yang terbaru pengguna cukup menyediakan ruang kerja dalam hard disk sebesar 280 MB, dan 480 MB untuk file-file , kemudian ruang perangkat keras 1485 MB atau 1,5 GB saat instalasi. Penting disinggung, semua OS Linux dan --untungnya--Windows XP masih menggunakan komputer arsitektur 32 bit.
Sekarang mari bandingkan dengan OS terbaru Microsoft, Windows 8. Kebutuhan minimum perangkat keras untuk bisa mulus menggunakan sistem operasi ini adalah prosesor berdaya 1 GHz dalam komputer berasitektur 32 bit (IA-32) atau 64 bit (x64). Namun yang direkomendasikan adalah komputer berasitektur 64 bit.
Lalu untuk memori, pengguna wajib menyediakan RAM sebesar 1GB untuk IA-32 dan 2 GB untuk edisi x64. Sementara yang direkomendasikan untuk bisa berjalan tanpa tersendat yakni RAM berkapasitas 4 GB.
Kemudian masuk kartu grafis, Windows 8 butuh kartu sekelas DirectX 9 WDDM 1.0 sedangkan yang direkomendasikan yakni kartu DirectX 10. Satu yang perlu ditekankan di sini mana-mana salah satu bagian internal yang bikin harga melangit selain cip prosesor adalah kartu memori grafis. Semakin oke kinerja kartu grafis maka semakin dalam kantong yang harus dirogoh.
Soal layar juga ada tuntutan besar meski kebutuhan minimum mencukupkan di angka 1024x768 piksel namun yang dianjurkan yakni 1366×768 piksel. Lalu untuk ruang penyimpanan hard disk sekurang-kurangnya 16 GB untuk IA-32 dan 20 GB untuk arsitektur x64.
Semua spefisikasi tadi membuat harga satu unit laptop yang dipasangi Windows 8 dan tetap ngebut mulus jadi selangit. Alasannya, mereka cenderung mengusung spesifikasi di atas kebutuhan minimum. Jangan heran bila laptop Windows 8 rata-rata hampir menyentuh angka 10 juta atau bahkan tembus hingga belasan juta.
"Terus terang saya tetap bisa menggunakan laptop lama yang saya beli pada 2009 seharga 5 jutaan dan tetap oke. Tak perlu mahal,” kata Asalin. Tuntutan Linux itulah yang membuat pengguna bebas pula menentukan perangkat keras seperti apa yang mereka butuhkan.
Meski pengguna Linux, Asalin juga menginstal Windows dalam laptopnya. Komputer dengan dua OS macam milik Asalin jamak disebut dual boot system. "Tapi saya beli asli yang berlisensi, bukan bajakan,"tegasnya. Meski, sebagian besar penggunaan hanya untuk main game, selebihnya ia memilih bekerja dalam lingkungan Linux.
Gnome
Bagaimana dengan soal tampilan di komputer, Linux tak sebagus Windows? Nanti dulu.
Pengembang Linux bukan hanya orang yang sekadar gemar mengoprek. Di balik software ini ada pula para guru dan wizard--julukan pakar kelas wahid di dunia IT--yang menjunjung tinggi filosofi kebebasan dalam software. Mereka kadang juga seorang hacker.
(Tema dekstop Ubuntu versi Gnome)
Jadi jangan heran bila tampilan dekstop Linux pun tak kalah kinclong dengan kompetitornya keluaran Microsoft maupun Apple, begitu pula kinerjanya.
Sesuai dengan sifat dasar open source, OS dari distro-distro Linux membuka kesempatan pengguna untuk mengubah, memodifikasi dan mengembangkan software tersebut, sehingga paket awal sering kali ringan.
Dalam perjalanannya, pengguna bisa memutakhirkan OS baik dengan mengunduh paket-paket di database yang dikembangkan bersama para user (pengguna), atau mengembangkan sendiri dan memprogram ulang lewat penulisan kode-kode yang dibutuhkan bila ia memang seorang pakar bahasa pemrograman.
Atau bila tidak, seperti halnya Asalin dan juga pengguna yang tak malu mengaku di forum-forum Linux, tetap senang hati melakukan aktivitas gabungan antara input perintah di kotak terminal dan poin-klik ala Windows.
Sistem yang ringan dan tidak memberat inilah yang membuat Linux cenderung stabil dan tidak mudah ngadat. Selain itu dalam soal keamanan, OS ini lebih jarang diserang virus. Apakah itu berarti kebal dari virus? Tentu saja itu hanya mitos. Setiap komputer yang terhubung dengan jaringan pasti memiliki peluang terpapar virus.
Bahkan dalam laporan Kapersky Lab, virus-virus termasuk Trojan dan ancaman lain yang ditulis khusus untuk Linux meningkat sepanjang 2005 dari hanya 422 menjadi 863 kasus. Hanya saja bila yang disinggung persoalan relativitas, siapa yang lebih sering diserang apakah Linux atau Windows? Jawabannya cukup jelas.
Anak cabang Linux dengan banyak distro membuat mereka yang hendak menulis virus khusus Linux dinilai iseng akut. Pasalnya, distro mana yang hendak dihajar? Mandriva, Open Susse, Ubuntu, Fedora atau Debian? Satu distro yang sama pun bisa memiliki lingkunga--biasa disebut dekstop enviroment--berbeda, seperti KDE, Gnome, atau Xfce. Sehingga sering kali virus atau malware Linux tidak sampai menyerang sistem root OS tersebut.
Sementara Windows dengan mudah menjadi sasaran empuk. Apalagi penyerang sering kali berdalih Windows dengan banderol tinggi tapi bersifat tertutup tidak memberikan pengguna--yang notebene sudah membayar mahal--hak untuk memodifikasi, jadi memang layak dihabisi.
Dalam perjalanannya, pengguna bisa memutakhirkan OS baik dengan mengunduh paket-paket di database yang dikembangkan bersama para user (pengguna), atau mengembangkan sendiri dan memprogram ulang lewat penulisan kode-kode yang dibutuhkan bila ia memang seorang pakar bahasa pemrograman.
Atau bila tidak, seperti halnya Asalin dan juga pengguna yang tak malu mengaku di forum-forum Linux, tetap senang hati melakukan aktivitas gabungan antara input perintah di kotak terminal dan poin-klik ala Windows.
Sistem yang ringan dan tidak memberat inilah yang membuat Linux cenderung stabil dan tidak mudah ngadat. Selain itu dalam soal keamanan, OS ini lebih jarang diserang virus. Apakah itu berarti kebal dari virus? Tentu saja itu hanya mitos. Setiap komputer yang terhubung dengan jaringan pasti memiliki peluang terpapar virus.
Bahkan dalam laporan Kapersky Lab, virus-virus termasuk Trojan dan ancaman lain yang ditulis khusus untuk Linux meningkat sepanjang 2005 dari hanya 422 menjadi 863 kasus. Hanya saja bila yang disinggung persoalan relativitas, siapa yang lebih sering diserang apakah Linux atau Windows? Jawabannya cukup jelas.
Anak cabang Linux dengan banyak distro membuat mereka yang hendak menulis virus khusus Linux dinilai iseng akut. Pasalnya, distro mana yang hendak dihajar? Mandriva, Open Susse, Ubuntu, Fedora atau Debian? Satu distro yang sama pun bisa memiliki lingkunga--biasa disebut dekstop enviroment--berbeda, seperti KDE, Gnome, atau Xfce. Sehingga sering kali virus atau malware Linux tidak sampai menyerang sistem root OS tersebut.
Sementara Windows dengan mudah menjadi sasaran empuk. Apalagi penyerang sering kali berdalih Windows dengan banderol tinggi tapi bersifat tertutup tidak memberikan pengguna--yang notebene sudah membayar mahal--hak untuk memodifikasi, jadi memang layak dihabisi.
Memang, open source masih kalah pamor dibandong closed software seperti Windows, meski bila dibandingkan sistem open source lebih stabil dan relatif aman dari serangan virus. Alasannya sebagian besar orang cenderung lebih suka ‘disuapi’ dan hanya sebagian yang mau berupaya mengoprek, membaca, bertanya dan mendatangi forum-forum bila mengalami masalah dalam OS open source.
Open source juga bukan tanpa kritikan. Keluar sentilan dari kubu sesaudara, Free Sotware, bahwa open source secara filosifis tak mengusung nilai sesungguhnya gerakan kebebasan dalam software. Toh kebebasan di sini, menurut Free bukan berarti “bir gratis", melainkan kebebasan berbicara, yang bertanggung jawab.
Komunitas yang menamakan diri Gerakan Free Software, lewat situsnya gnu.org, menyebut open source sebagai sempalan yang memisahkan diri pada 1998 dan dianggap hanya fokus pada pengembangan metodologi, bukan gerakan etika dengan sebuah ideologi.
Karena itu satu tokoh Free Software, Richard Stallman dalam satu essainya "Why Free Software” is better than “Open Source” menyebut banyak praktik open source yang bertolak belakang dengan filosofi dasar gerakan kebebasan dalam software. Stallman memberikan contoh kontradiksi penggunaan OS mobile Android besutan Google dalam ponsel cerdas masa kini.
Android sebagai OS ponsel, sebut Stallmand berani menyebut diri open source, tetapi pengguna tidak berhak untuk memodifikasi dan mengotak-atik software tersebut bila ingin memutakhirkan. Alih-alih, software terikat dengan perusahaan ponsel seperti Samsung sehingga tetap terkunci.
Google sebagai pengembang OS menyetor pemutakhiran ke Samsung dan perusahaan itulah yang menentukan gadget mana yang akan mengusung software terkini, seperti Samsung Galaxy Tab 7 dengan Gingerbread, lalu Samsung Galaxy Note 10.1 dengan Jelly Bean. Kalau toh ada versi OS yang dilepas ke publik untuk diunduh, rilis akan menunggu dahulu kemunculan gadget dengan OS terbaru. Bagi Stallman, cara itu tidak membebaskan.
Meski, dinilai menyimpang, kubu Free Software menyebut open source bukanlah musuh dan mengakui kontribusi mereka. Free Software memandang lawan utama tetap adalah proprietary software, yang lebih dikenal dengan sebutan closed software, produk keluaran perusahaan teknologi yang berorientasi kapitalis murni.
Merekalah yang disebut penganut garis keras kebebasan software, sebagai biang munculnya ‘perilaku malas’ dan cenderung bergantung, di kalangan pengguna komputer.
Open source juga bukan tanpa kritikan. Keluar sentilan dari kubu sesaudara, Free Sotware, bahwa open source secara filosifis tak mengusung nilai sesungguhnya gerakan kebebasan dalam software. Toh kebebasan di sini, menurut Free bukan berarti “bir gratis", melainkan kebebasan berbicara, yang bertanggung jawab.
Komunitas yang menamakan diri Gerakan Free Software, lewat situsnya gnu.org, menyebut open source sebagai sempalan yang memisahkan diri pada 1998 dan dianggap hanya fokus pada pengembangan metodologi, bukan gerakan etika dengan sebuah ideologi.
Karena itu satu tokoh Free Software, Richard Stallman dalam satu essainya "Why Free Software” is better than “Open Source” menyebut banyak praktik open source yang bertolak belakang dengan filosofi dasar gerakan kebebasan dalam software. Stallman memberikan contoh kontradiksi penggunaan OS mobile Android besutan Google dalam ponsel cerdas masa kini.
Android sebagai OS ponsel, sebut Stallmand berani menyebut diri open source, tetapi pengguna tidak berhak untuk memodifikasi dan mengotak-atik software tersebut bila ingin memutakhirkan. Alih-alih, software terikat dengan perusahaan ponsel seperti Samsung sehingga tetap terkunci.
Google sebagai pengembang OS menyetor pemutakhiran ke Samsung dan perusahaan itulah yang menentukan gadget mana yang akan mengusung software terkini, seperti Samsung Galaxy Tab 7 dengan Gingerbread, lalu Samsung Galaxy Note 10.1 dengan Jelly Bean. Kalau toh ada versi OS yang dilepas ke publik untuk diunduh, rilis akan menunggu dahulu kemunculan gadget dengan OS terbaru. Bagi Stallman, cara itu tidak membebaskan.
Meski, dinilai menyimpang, kubu Free Software menyebut open source bukanlah musuh dan mengakui kontribusi mereka. Free Software memandang lawan utama tetap adalah proprietary software, yang lebih dikenal dengan sebutan closed software, produk keluaran perusahaan teknologi yang berorientasi kapitalis murni.
Merekalah yang disebut penganut garis keras kebebasan software, sebagai biang munculnya ‘perilaku malas’ dan cenderung bergantung, di kalangan pengguna komputer.
Komentar
Posting Komentar