Saat Open Source Dilabeli Musuh

Baru saja mengimbau pemakaian open source, Indonesia langsung diserang. Ketika itu Kementrian Komunikasi Pendayaangunaan Aparatur Negara, lewat surat edaran Menteri No1 tahun 2009 yang diterbitkan 30 Maret meminta lembaga-lembaga pemerintah untuk menggunakan perangkat berbasis open source (FOSS) demi menghindari pelanggaran HAKI.
BRAJESHWAR/ Deeptaman Mukherjee

Alih-alih mendapat apresiasi karena menekan penggunaan software ilegal, Indonesia justru dimasukkan dalam daftar "Special 301 watchlist". Pelaku yang mengusulkan daftar itu tak lain adalah Aliansi Properti Intelektual International (IIPA), lembaga yang dianggap musuh nomor satu gerakan kebebasan dalam software.

Dalam tubuh IIPA ada nama-nama tidak asing dalam kapitalisme global di dunia kreatif dan IT . Mereka adalah Association of American Publishers (AAP), the Business Software Alliance (BSA), Entertainment Software Association (ESA), Independent Film & Television Alliance (IFTA), Motion Picture Association of America (MPAA), the National Music Publishers' Association (NMPA) dan Recording Industry Association of America (RIAA)".
Apakah Special 301 sebenarnya? Nama itu mengaju pada laporan yang memeriksa bagaimana perlakuan hak intelektual dalam kebijakan negara-negara di atas planet ini. Sederhananya, daftar negara yang dianggap pemerintah AS sebagai musuh dari kapitalisme global.

Situs berita teknologi terkemuka, Techdirt memiliki versi pengertian lebih keras lagi. "Special 31 adalah cara para pelobi industri untuk membuat pemerintah AS meletakkan negara-negera yang tak mereka sukai dalam daftar pengawasan. Tujuannya agar diplomat AS---yang bahkan tidak memahami dasar faktual laporan tersebut---memberi tekanan kepada negara lain untuk mengubah kebijakan HAKInya menjadi lebih ketat".

Salah satu komunitas terbesar open source di dunia yang lahir di AS, Open Source Initiative (OSI) dalam laman situsnya menyebut IIPA sengaja memicu perang dingin, meloloskan penghakiman semena-mena berdasar bukti tidak valid dan tanpa otentifikasi.

Tuduhan itu tidak berlebihan sebab dalam rekomendasi IIPA, terdapat pernyataan yang intinya berbunyi, "Kebijakan pemerintah Indonesia memperlemah industri perangkat lunak dan merendahkan kompetisi jangka panjang karena menciptakan iklim yang cenderung menawarkan open software, bahkan mereka menolak perusahaan-perushaan sah untuk mengakses pasar pemerintah,".

Alasan mereka, imbauan KemenPAN dinilai gagal menghormati hak properti intelektual dan juga membatasi kemampuan pemerintah atau konsumen di sektor publik, seperti BUMN untuk memilih solusi terbaik bagi mereka. Tak hanya itu, IIPA juga menyebut kebijakan Indonesia merupakan halangan signifikan terhadap akses menuju pasar.

Pemilihan bahasa dan pengkalimatan seruan kubu pelaku bisnis software seperti di atas itulah yang dianggap penganut ideologi open source telah menimbulkan selip pemahaman di masarayakat. Pelaku bisnis dinilai memutar balikkan situasi sehingga ideologi kebebasan untuk software adalah musuh yang membatasi pilihan dalam penggunaan software.

Ironisnya pemerintah Inggris pun pernah menyatakan dorongan serupa yakni menggenjot penggunaan perangkat lunak berbasis open source. Bedanya tak sampai ada suara keras dan Inggris tidak masuk Spesial 301, tidak seperti Indonesia, Brasil dan India.

Dosen hukum dari Universitas Edinburgh, Andreas Guadamuz, seperti dilansir Guardian, menemukan fenomena menarik dari aktivitas IIPA yang ‘berisik”. Ternyata sebuah negara tak perlu sampai mengeluarkan undang-undang penggunaan open source untuk membuat pemain bisnis software mencak-mencak, sekedar imbauan saja pun sudah cukup.

Open source, ujarnya memang kerap diasosiasikan dengan gagasan sosialis, namun ia melihat itu sebagai konsekuensi nyata dari aksi pasar bebas. Sikap IPPA dipandangnya berlebihan.

"Lagi pula, sebagian besar pengguna FOSS bukanlah perusahaan BUMN. Para pengguna memakai kesimpulan logis dan menggunakan kebebasan memilih software untuk mengalahkan kompetitor," ujar Guadamuz. "Apakah anda pernah menuduh Google yang beberapa kali menggratiskan produk-produknya sebagai sikap antikapitalis?"

Kalau mau menggunakan perhitungan lebih cermat dan rigid, software-software keluaran para raksasa teknologi seperti Microsoft dan Apple-lah yang justru membatasi dan mengekang pengguna dibanding open source. Apple bahkan disebut salah satu musuh terburuk open source saat ini dibanding Microsoft.

Secara logika, ketika seseorang membeli software sistem operasi (OS) Windows 8 seharga 1,5 juta misal, maka yang dibeli adalah hak untuk memakai. Dalam bahasa bahasa bisnis, perusahaan menyebut peranti lunak macam tadi sebagai proprietary software. Sedangkan komunitas open source menyebutnya sebagai closed software

Intinya pembeli hanya memberi lisensi pemegang hak cipta dan memberi hak untuk menggunakan software dalam kondisi tertentu. Pengguna dilarang membagi dengan pengguna lain, memodifikasi, mengkaji, mendistribusi uang atau mengubah pemrograman.

Dalam kalimat sederhana, pembeli hanya membeli hak pakai tapi bukan barang. Ketentuan ini yang tidak disukai komunitas open source

Salah satu anggota dewan pengamat dalam OSI, Simon Phipps, menyerang balik argumen IIPA terhadap Indonesia dan negara lain yang tercantum dalam Special 301 sebagai langkah putus asa untuk mengaburkan fakta .

Lantaran, imbuh Simon, pemasok software seperti IBM, Oracle, Red Hat, Microsoft, IP dan sebagian besar lain, sebenarnya telah mengintegrasikan open source ke dalam bisnis mereka. Salah satu perusahaan kreatif, Pixar pun menggunakan software berbasis Linux untuk menggarap animasi-animasinya.

Gerakan IIPA dinilai Simon penuh kebohongan dan berupaya menyamakan open source layaknya aktivitas pembajakan. Simon menyebut BSA dan juga lembaga serupa IIPA sebenarnya kebat-kebit.

Alasannya pengembangan model software terbuka berpotensi membuat negara berkembang lebih berdaya membangun sendiri industri IT-nya di dalam negari. Potensi itu, sebut Simon, berpeluang besar menyingkirkan ketergantungan mereka dari raksasa-raksasa software Amerika.
OPENSOURCE.ORG
OSI juga mencibir IIPA yang dinilai serampangan menyerang pemerintah-pemerintah negara berkembang yang bahkan baru sekedar merekomendasikan open source.

"Padahal pemerintah AS sendiri berdosa karena Departemen Pertahanan AS (DOD) juga telah menerbitkan dan mengklarifikas panduan jelas yang condong kepada software-software berbasis open source dalam sebagian besar aplikasi," tulis Simon dalam essainya yang berjudul "Time To Rebut The IIPA's FUD Against Open Source".

Bukan hanya DOD sebenarnya, pada Februari 2011, Direktur New Media, Gedung Putih, Macon Phillips juga mengumumkan keputusan pemerintah untuk penggunaan dashboard web berbasis open source, Drupal, sebagai sistem manajemen konten (CMS).

Bagi yang belum tahu Drupal, ini adalah salah satu CMS favorit pengembang web. Menurut survei Water & Stone pada 2010, bersama WordPress dan Joomla, Drupal mendominasi pasar dan kekuatan brand di pasar CMS open source.

Simon mencela sikap IIPA. Ia juga menyayangkan Penasihat Perdagangan Pemerintah AS yang justru mengikuti kemauan IIPA. Lucunya, imbuh Simon, ketika mereka menyerang negera berkembang, AS justru bisa lolos dari kecaman-kecaman serupa.

"Lembaga ini terus menggembar-gemborkan definisi ketinggalan zaman, menyembunyikan kepentingan pelaku bisnis dan takut terhadap inovasi serta model bisnis baru," ujar Simon. Ia menegaskan serangan tersebut harus segera dihentikan.

Komentar

Postingan Populer